Internalisasi Pendidikan untuk Peradaban

Banjarmasin Post, Selasa 26 Maret 2024 (baca pada halaman 4 di https://bitly.ws/3gUY4 dan bisa diakses di https://banjarmasin.tribunnews.com/2024/03/26/internalisasi-pendidikan-untuk-peradaban)

Oleh MOH. YAMIN: Pemerhati pendidikan, penulis buku-buku pendidikan

Seorang filsuf Frithjof Schuon berkata jika ingin menjadi manusia seutuhnya, mari meletakkan pendidikan sebagai kunci pemanusiaan manusia. Pasalnya, pendidikan mengajarkan setiap manusia untuk dapat mengenal diri dan lingkungannya. Mengenal dirinya sendiri berarti bahwa manusia harus memahami apa yang mesti dilakukan untuk dirinya demi pengembangan kapasitas diri. Memahami dirinya bermakna bahwa setiap orang memiliki tanggung jawab untuk terus belajar dan belajar, membaca setiap realitas sebagai sumber belajar, memberikan makna terhadap apa yang sedang dibaca, dan selanjutnya melakukan kontekstualisasi makna dan pesan yang diperoleh dari hasil membaca realitas. Memahami dirinya mengilustrasikan kerja-kerja perubahan yang mesti dilakukan.

Perubahan adalah sebuah hal niscaya, mengutip pendapat Heraklitos. Ini berarti bahwa pendidikan memberikan pesan-pesan perubahan agar perilaku manusia terus dirubah menjadi baik dan lebih baik. Hanya dengan belajar kepada realitas, manusia kemudian akan menjadi bermakna dan dimungkinkan menjadi lebih baik. Pendidikan kritis menjadi jalan yang perlu dibuka dan dilakukan sebagai langkah baik agar terjadi dinamika. Apakah kita selama ini sudah menjadi manusia-manusia yang sudah memahami hakikat kita sebagai manusia yang terus belajar, mengembangkan diri, dan menaikkan kapasitas diri? Jawaban bisa beragam dari tidak, setengah iya, dan ragu-ragu.

Barangkali lisan kita mengatakan iya namun tidak menjamin iya ketika hati ikut menjawab secara jujur. Terlepas apapun jawabannya, kejadian demi kejadian yang menimpa kita di dunia pendidikan membuktikan bahwa masih ada yang salah di praksis pendidikan kita. Bullying yang marak terjadi walaupun yang muncul di media publik terbatas sesugguhnya ibarat gunung es bahwa ada yang keliru saat anak didik belajar di sekolah. Anak-anak seolah aman dan nyaman belajar di sekolah, di kelas akan tetapi bahaya laten kemanusiaan mengintai mereka. Kekerasan di sekolah dimungkinkan akan muncul baik dalam momen segera atau potensial terjadi di masa selanjutnya.

Rabindranath Tagore mengatakan bahwa sekolah akan selalu menjadi penjara bagi anak didiknya sebab mereka sebetulnya berada dalam kebijakan pendidikan yang membelenggu. Lingkungan pendidikan yang memaksa anak didik terus belajar dan kehilangan ruang untuk melepaskan kepenatan dan stress hidup menjadi pemicu (baca: kebijakan kurikulum). Selain mungkin faktor keluarga yang abai terhadap dinamika dan perkembangan kejiwaan anak dengan semakin dekatnya anak kepada kehidupan informasi di teknologi bernama gadget. Menjadi wajar jika kondisi anak di sekolah mengalami disorientasi sehingga ini membuktikan bahwa mereka tidak belajar. Makna semantik dari belajar bukan semata menghafal, menjawab soal-soal yang diberikan guru di kelas, menjawab pertanyaan guru, menyimak dan memahami yang dipaparkan guru atau anak didik dapat melakukan presentasi topik pada mata pelajaran tertentu di depan kelas. Ini hanya kemampuan kognitif yang sebetulnya tidak membekas dan membentuk perilaku kehidupan anak yang baik. Dalam bahasa agama, kita menyebutnya akhlaq yang baik, belum tentu mereka peroleh setelah menjalani fase-fase belajar di kelas.

Apa yang kemudian dilakukan guru selama ini di kelas pun sebetulnya juga belum berhasil (saya tidak mengatakan berhasil) membentuk pribadi-pribadi anak didik yang berkarakter. Thomas Lickona mengatakan bahwa membangun dan menanamkan nilai-nilai karakter kepada anak didik memerlukan proses panjang. Seorang pedagog asal Jerman F.W Foerster (1869-1966) mengatakan bahwa pendidikan karakter merupakan langkah guna membentuk karakter yang selanjutnya termanifestasikan dalam kesatuan esensial subjek dengan perilaku dan sikap hidup setiap pribadi manusia. Dalam proses pendidikan yang selama ini berlangsung di sekolah, kita belum sampai ke arah tersebut. Kekerasan antar pelajar adalah varian dari kehidupan disorientasi pendidikan anak didik yang dihasilkan dari proses berpendidikan di sekolah. Apakah guru dan sekolah adalah pihak yang perlu dikambinghitamkan? Jawabannya adalah tidak. Guru dan sekolah sudah bekerja keras, sudah melakukan usaha maksimal dan optimal dalam pelaksanaan pendidikan dan pengawasan di sekolah.

Capaian Formalitas

Capaian-capaian pendidikan selama ini hanya berada di ruang-ruang formalitas dan simbolik. Anak disebut berhasil dan mencapai derajat pendidikannya di sekolah ketika menerima angka tertinggi pada setiap mata pelajaran. Sedangkan usaha untuk memupuk dan merawat anak menjadi beradab menjadi terabaikan. Ruang-ruang mencapai prestasi akademik sangat tinggi sehingga seolah manusia disebut berhasil ketika memiliki capaian akademik tertinggi. Pendidikan dikaitkan dengan anak belajar dan berhasil di gelanggang formalitas yang mengabaikan hal-hal substansial menuju pendidikan yang berorientasi kepada nilai-nilai hidup. Nilai-nilai pendidikan yang berjalinkelindan dengan keluhuran, kemuliaan, menjunjung tinggi harkat martabat kemanusiaan, mendorong menjadi manusia yang peka terhadap sesama, menaikkan derajat penghormatan atas nama kemanusiaan dan peradaban masih ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. Secara hakiki dilihat dalam pendekatan perenialisme, pendidikan mengajarkan setiap insan manusia, anak didik untuk mengenal dirinya sebagai makhluk yang tidak boleh menyombongkan diri karena kekuasaan, ketamakan, harta materi dan hal-hal apapun yang identik dengan kultusisasi hawa nafsu. Pendidikan perenealis menanamkan nilai hidup dan kehidupan kepada semua anak manusia untuk belajar karena panggilan hati untuk kebaikan, memperbaiki diri menjadi lebih baik, menata diri secara jiwa, dan menajamkan hati pikiran agar semakin memiliki kepekaan sosial yang tinggi sehingga memiliki keberpihakan perjuangan kemanusiaan. Kita semua meyakini apabila hal-hal demikian mampu dijalankan, ini menjadi langkah semua untuk melahirkan anak didik yang baik sehingga kerja internalisasi pendidikan untuk peradaban akan dapat diwujudkan dengan baik. Tidak ada kata “tidak bisa” untuk melakukan ikhtiar dan perjuangan kebaikan. Terlepas itu, enerji kolektif semua orang yang terlibat untuk menghadirkan pendidikan yang memanusiakan manusia dan memberikan karpet merah pendidikan yang memberikan ketulusan memerlukan kerja keras bersama, tidak hanya guru dan sekolah, namun juga orang tua dan masyarakat. Akhir dari perjuangan pendidikan semacam ini, tidak akan ada praktik bullying, kekerasan pelajar, dan tindakan destruktif lain yang bermuara kepada kehancuran masa depan pendidikan anak didik.

Menagih Komitmen Keberpihakan Para Capres terhadap Pendidikan

Banjarmasin Post, Sabtu 13 Januari 2024 (baca pada halaman 4 di https://rb.gy/d23sys dan bisa diakses di https://banjarmasin.tribunnews.com/2024/01/13/menagih-komitmen-keberpihakan-para-capres-terhadap-pendidikan)

Oleh MOH. YAMIN: Pemerhati Pendidikan

Secara aksiologis, pendidikan diniatkan untuk mencerdaskan bangsa, semua anak negeri yang belajar dan sedang belajar. Secara epistemologis, pendidikan dimaknai untuk membentuk cara berpikir anak didik yang memahami posisi dirinya terhadap lingkungan, menempatkan dirinya sebagai subyek yang bisa menatap setiap hal dan realitas secara kritis dan transformatif. Ada kerja perubahan yang mesti dilakukan dan dirubah oleh setiap anak didik yang berproses belajar dan berpendidikan. Ketika mereka semua para anak didik duduk di bangku sekolah, termasuk perguruan tinggi diharapkan dapat memiliki atmosfir pendidikan yang terarah dan mampu melakukan proses berpendidikan secara berkelanjutan, maka sudah sewajarnya mimpi-mimpi indah itu perlu diwujudkan. Apa yang kemudian mereka pelajari dan sedang pelajari adalah hasil perencanaan pendidikan jangka panjang dari para pemimpinnya yang bervisioner. Kurikulum yang dilaksanakan pun bermakna kepentingan jangka panjang dan untuk itu menata kebijakan-kebijakan negara dalam konteks penyelenggaraan pendidikan sudah semestinya dibangun atas pembangunan manusia unggul secara berkelanjutan. Tidak terjadi kerputusan kebijakan karena kepentingan politik tertentu.

Wajah pendidikan nasional hingga ke lokal adalah penyelenggaraan pendidikan yang saling melengkapi dan memperkuat. Tujuan pendidikan nasional dan lokal sama sama tercapai. Pendidikan nasional dimaknai untuk menyamakan visi dan tujuan pendidikan di tingkat pusat; sedangkan tujuan di akar rumput bermakna agar menjaga dan merawat nilai-nilai kehidupan yang berada di ekosistem pendidikan yang mendukung kepentingan nasional. Oleh sebab itu, sudah sewajarnya para calon pemimpin yang berkontestasi di pemilihan presiden dan wakil presiden 14 Februari 2024 memiliki langgam penyelenggaraan pendidikan yang utuh dan komprehensif terkait apa yang harus dilakukan dalam konteks mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pelaksanaan pendidikan kemudian perlu diperkuat dengan dilandasi kebijakan-kebijakan pendidikan nasional yang kokoh sehingga niat baik untuk mengawal perubahan paradigma dan kehidupan pendidikan anak didik dapat dilakukan dengan sedemikian rupa.

Menjadi panggilan perjuangan setiap calon pemimpin ke depan untuk berpikir visioner terkait apa yang mesti direncanakan dan dikerjakan sehingga jangan ada ganti rezim, ganti kebijakan pendidikan. Ini menjadi persoalan yang kemudian tidak akan berakhir dengan penyelesaian tatkala setiap pemimpin baru memiliki cara dan kebijakan baru dalam implimentasi pendidikan.

Yang menjadi pertanyaan adalah sudah sejauh mana para calon beserta tim pemikirnya merumuskan agenda-agenda perubahan di dalam pendidikan ke depan? Apakah yang mereka lakukan menjadi bagian dari kerja melanjutkan pembangunan sumber daya manusia unggul dari kebijakan-kebijakan pendidikan sebelumnya atau justru mengamputasi kebijakan-kebijakan lama, menggantinya dengan kebijakan-kebijakan pendidikan baru agar tidak disebut mereplika? Jamak menyebutkan bahwa sejarah selalu memberikan kesaksian nyata yang selalu dimulai dari kebijakan pendidikan yang baru dan ini mengawalinya dengan hal-hal baru. Ini berarti bahwa tidak ada kebijakan dan pelaksanaan pendidikan yang berkelanjutan dari masa ke masa (baca: realitas). Yang terjadi selanjutnya menambah beban dan persoalan baru sebab memulainya dari nol. Kita pun, dengan kondisi demikian, tidak memiliki banyak harapan terjadi perubahan mendasar dalam konteks memerangi kemiskinan pendidikan, memberantas penderitaan pendidikan.

Romo Benny Susetyo pernah mengatakan, selama pendidikan kemudian menjadi komoditas politik, maka sampai kapanpun perubahan kemajuan melalui pendidikan yang mencerdaskan, mencerahkan, dan membangun peradaban ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. Akan selalu terjadi politisasi pendidikan sebab niat mengurusi pendidikan bukan karena perjuangan menaikkan kelas sosial dan kelas kesadaran setiap anak negeri menjadi melek dan sadar pendidikan, mengutip pendapat Paulo Freire. Pendidikan seutuhnya adalah investasi masa depan dan ini bermakna bahwa siapapun presiden dan wakil presiden yang menahkodai republik ini sudah seharusnya berpandangan pendidikan untuk masa depan bangsa ke depan. Apabila harapan kita semua adalah melahirkan generasi emas di usia 100 tahun Indonesia merdeka di tahun 2045, maka sudah semestinya kelompok elit di negeri ini membuang jauh pikiran-pikiran kerdil dan sempit yang semata menempatkan pendidikan sebagai jargon politik untuk mengeruk suara para pemilih.

Masih Belum Tegas

Setiap calon presiden dan wakil presiden memiliki pandangannya secara sendiri-sendiri tentang pendidikan, namun umumnya masih berkecenderungan kepada memperjuangkan alokasi anggaran pendidikan 20%, dana/anggaran dan fasilitas. Padadal selain dari hal tersebut, ada yang jauh yang lebih penting yakni bagaimana menempatkan pendidikan sebagai lokus perubahan bagi kehidupan anak didik sehingga diperlukan kerjasama antara sekolah, masyarakat, dan keluarga. Tampaknya, hal-hal substantif demikian belum sepenuhnya dielaborasi dengan sedemikian serius.

Pendidikan dan hasil berpendidikan, diakui maupun tidak, tidak bisa dilihat saat ini dalam hitungan bulan atau tahun, namun dalam rentang puluhan tahun. Ini berarti bahwa sudah semestinya memetakan rencana-rencana kebijakan pendidikan apa yang mesti dilakukan untuk mendorong setiap anak didik belajar dengan tantangan hidup lebih berat di masa depan semestinya dibaca, diulas, dirumuskan, dan disiapkan. Mengurus dan mendiskusikan pendidikan, kita semua sepakat, tidak seseksi mengurus ekonomi yang dapat dikalkulasi untung ruginya atau sumber daya alam atau hal-hal lain yang tampak hasilnya di depan mata. Para calon presiden dan wakil presiden penting membaca dan memahami urgensi pendidikan di masa depan agar masyarakat pemilih menjadi sadar dan melek janji-janji para capres beserta cawapresnya untuk masa depan pendidikan ke depan.

Rakyat menagih komitmen keberpihakan para capres cawapres terhadap rencana-rencana kebijakan pendidikan yang akan dilakukan. Biarkan rakyat pemilih yang menilai dari gagasan-gagasan hebat para calon pemimpinnya agar mereka bisa menitipkan suara politiknya (vox populi vox dei) di tempat pemungutan suara (TPS) melalui kotak suara yang disediakan untuk diperjuangkan setelah mereka terpilih, dilantik, dan diambil sumpah jabatan.

Arah Praksis Pendidikan yang Keliru

Banjarmasin Post, Rabu 22 November 2023 (baca pada halaman 4 di https://bitly.ws/33shR dan bisa diakses di https://banjarmasin.tribunnews.com/2023/11/22/arah-praksis-pendidikan-yang-keliru)

Oleh MOH. YAMIN: Pemerhati Pendidikan

Kita semua tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi ketika semua manusia tidak memiliki akses untuk belajar, kesempatan untuk menimba ilmu dan mempelajari pendidikan. Dunia ini akan lumpuh dan tidak ada peradaban. Kebodohan akan merajelala. Kemiskinan pengetahuan akan menjadi fakta nyata tidak terbantahkan. Tidak akan ada yang bernama perubahan hidup, cara pandang hidup menjalani kehidupan yang mungkin berorientasi masa depan. Ketika pendidikan menjadi barang langka yang tidak bisa diakses siapapun, maka jangan harap akan ada kehidupan yang bernama kesejahteraan, pencerahan dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Tatkala pendidikan yang mengajarkan kita semua untuk mengenal dan memahami menjadi benda yang mustahil dijamah karena tidak ada akses ke arah tersebut, sampai kapanpun dunia akan suram.

Pertanyaannya adalah apakah praksis pendidikan selama ini sudah mengarahkan kepada pencerahan dan pembangunan peradaban manusia unggul? Apakah pendidikan yang selama ini sudah dilakoni semua guru kepada semua anak didiknya sudah menghasilkan anak didik yang dipandang berhasil membangun mutu? Jawabannya sebagian iya dan sebagian tidak. Ketika serba sebagian menjadi jawaban, maka muncul pertanyaan baru, mengapa itu terjadi? Realitas menjelaskan secara kasat mata bahwa masa kini sudah mudah mengakses pendidikan dari manapun saja. Akses informasi melalui jaringan internet memudahkan membukakan laman apapun yang menginformasikan banyak hal. Kendatipun demikian, mengapa anak didik kita kemudian tidak dan masih tidak kuat membacanya sehingga lemah untuk memahami teks, ini menjadi persoalan lain yang perlu mendapat titik perhatian serius. Jangan-jangan ada yang salah dalam belajar.

Terlepas apapun jawabannya, teknologi informasi dan komunikasi telah membuka pintu selebar-lebarnya tentang sumber belajar dari mana saja, namun kendatipun demikian tidak banyak anak didik kemudian memanfaatkan itu sebagai sumber belajar, media pengembangan diri, memupuk kepekaan dan enerji kritisisme dalam membaca. Budaya membaca tetap monoton dan dimungkinkan semakin menurun. Pasalnya, teknologi informasi dan komunikasi berkecenderungan kepada malas belajar dan beralih kepada permainan online atau game online. Walaupun kemudian mereka membaca dari sumber online, itu pun dengan membaca cepat, bukan membaca utuh sebuah bacaan. Dalam beberapa kali kesempatan saya menggali informasi dan pengetahuan kepada mahasiswa, preferensi mereka mencari dan menggali informasi hanya berbasis kepada kepentingan dan kebutuhan sesaat. Selebihnya berorientasi kepada hiburan. Ini menjadi kondisi ironis. Seharusnya fase ke fase kehidupan manusia semakin maju dalam berpikir, dalam belajar, dan dalam memahami praksis pendidikan yang membebaskan manusia dari kejumudan berpikir dan berliterasi, ini justru semakin menenggelamkan dan membawa manusia ke dunia rendahnya literasi dan matinya enerji pendidikan yang mencerahkan manusia.

Nalar kritis semakin mandul. Logika yang seharusnya dibangun dan dijalankan semakin tegak lurus dengan kebutuhan masa kini untuk masa depan, ini ibarat menegakkan benang basah. Menghamba kepada teknologi atau menjadi budak-budak teknologi untuk mempercepat akses informasi dan pengetahuan dengan menelan mentah-mentah informasi yang dibaca adalah ciri-ciri manusia yang tidak siap menerima perubahan dan tantangan. Era disrupsi yang seharusnya disambut gembira dengan merubah cara pandang dan berpikir untuk semakin menajamkan logika secara kritis menjadi masalah baru bagi manusia dan mungkin kita semua, termasuk anak didik.

Cacat Paradigma

Kita dan semua manusia yang mungkin sudah malas berpikir karena merasa terbantu dengan adanya teknologi informasi dan komunikasi terbaru atau lebih mudahnya dengan kehadiran kecerdasan buatan adalah bentuk cacat paradigma yang dialami kita semua selaku yang mengaku manusia pembelajar. Anak didik baik di sekolah maupun perguruan tinggi adalah mereka yang kehilangan enerji untuk belajar memahami setiap perubahan sebagai sesuatu hal niscaya, mengutip pendapat Heraklitos.

Driyarkara menyebut bahwa manusia dengan segala proses humanisasi dan homonisasinya adalah bertujuan agar mereka menjadi manusia-manusia yang tidak pernah berhenti belajar, mampu mengambil peran perubahan bagi kamajuan peradaban di lingkungannya. Franz Magnis Suseno mengatakan, manusia dituntut untuk dapat berpikir kritis terhadap apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Tanggung jawab manusia seutuhnya adalah membaca, mempelajari, memberikan nilai-nilai terhadap apa yang dibacanya, yang disertai dengan tindakan-tindakan kebaikan serta kebajikan. Ketika konteks ini dikaitkan dengan pendidikan, seharusnya kita semua menjadi manusia-manusia pembelajar yang berdampak perubahan.

Membaca pengetahuan melalui teknologi informasi dan komunikasi bernama google atau kecerdasan buatan lainnya tampaknya semata memenuhi tuntutan tugas dan penugasan, bukan memberi jejak perubahan bagi diri dan perubahan mentalitas. Saatnya menata kembali cara hidup, cara berpikir, cara memandang setiap hal. Ketika cara pandang dapat ditata dengan baik, maka ini akan menghasilkan proses yang baik dengan hasil yang baik. Tujuan yang benar akan berirama dengan jalan yang benar, menuju tujuan yang benar. Oleh sebab itu, mari memahami pendidikan sebagai jalan memberantas kebodohan, bukan karena buta huruf, namun karena kita semua selama ini sesat memahami pendidikan dengan tujuan instrumental.

Mengawal Pendidikan Perubahan

Banjarmasin Post, Rabu 11 Oktober 2023 (baca pada halaman 4 di https://bitly.ws/Xktf dan bisa diakses di https://banjarmasin.tribunnews.com/2023/10/11/mengawal-pendidikan-perubahan)

Oleh: MOH. YAMIN: pemerhati pendidikan

Perilaku manusia seutuhnya adalah menjadi pribadi-pribadi yang selalu hangat terhadap sesama, memberikan kesejukan terhadap sesama dan begitu seterusnya. Melakukan kerja-kerja kemanusiaan yang memberikan makna bagi sesama adalah panggilan hati dan jiwa bahwa kita semua adalah satu untuk berbeda, akan tetapi bisa bersatu untuk semua, mengutip pendapat Gus Dur. Manusia sejati adalah ketika ia mampu menjadi pribadi yang inklusif terhadap perubahan dan dinamika, siap menerima perubahan dan tantangan, selalu memandang perubahan sebagai sesuatu hal niscaya, mengutip pendapat Heraklitos. Tidak pernah menyebut yang liyan sebagai musuh atau orang yang kemudian harus ditumpas, mengutip pendapat Edward Said. Peduli terhadap sesama, empati yang seutuhnya demi kemanusiaan didendangkan dengan sedemikian rupa untuk bisa bersama di dalam perbedaan.

Jangan pernah ada permusuhan dalam konteks nama apapun. Persahabatan yang dirajut dengan senang bersama menjadi nyata dilakukan dengan sedemikian rupa dalam kehidupan kesehariaan kita semua. Untuk apa berbeda jika kemudian selalu berkelahi dan untuk apa sama jika kemudian tidak ada kemampuan menyamakan persamaan. Lebih baik beragam namun mampu bersama-sama dalam perbedaan yang indah. Ketika konteks pemahaman nilai ini direlasikan dengan kebutuhan berpendidikan yang mengajarkan setiap manusia untuk bisa saling menerima perbedaan, hal wajar apabila jangan pernah ada tanda-tanda kekerasan yang mengatasnamakan kebencian, dendam, dan lain sejenisnya. Tidak pernah dibenarkan karena alasan apapun kemudian bertindak anarkis dan kesewenang-wenangan.

Realitas saat ini kemudian sering muncul menarasikan cerita yang mungkin kadang membuat kita semua terhenyak, mengelus dada, dan terkaget-kaget bahwa ada saja di sekolah antar anak didik kemudian melakukan tindakan kasar kepada sesama teman sehingga ini membuahkan tindakan-tindakan kekerasan lanjutan. Hanya alasan yang sebetulnya tidak perlu dibesar-besarkan kemudian ada pemukulan. Bullying adalah bagian lain dari cerita tentang kehidupan dan praktik pendidikan yang tidak mengenakkan suasana di sekolah sehingga di antara mereka ada perasaan tidak senang untuk berinteraksi, menjauh dari kehidupan yang tidak mendukung kepada kedamaian dan perdamaian. Itu nyata dan terkadang kita semua termasuk orang tua, masyarakat, dan guru alpa memonitor itu.

Ironi praktik kehidupan anak didik kita yang konon sudah disebut berpindah dari pendidikan kolonial menuju pendidikan modern. Terlepas kemudian Giddens pernah menyebut bahwa pendidikan modern menyisakan masalah yang tidak pernah terselesaikan, yakni keringnya nilai-nilai spritual yang terjadi kepada kehidupan manusia. Manusia konon disebut berlomba-lomba dengan begitu kuatnya berdandan agamis namun sebetulnya tidak agamis karena hilang spiritualitasnya. Tindakan kasar lainnya adalah terkadang ada juga guru yang kemudian melakukan perlakuan kasar atau tidak amoral kepada anak didiknya. Guru teriak-teriak mengajarkan keadaban namun kemudian kehilangan keadaban publiknya di ruang peradaban bernama sekolah. Kita pun juga tidak tahu mengapa itu menimpa mereka, apakah karena faktor beban mengajar di sekolah melebihi kapasitas, beban hidup rumah tangga atau lainnya. Ini adalah potret lain tentang kehidupan di sekolah yang seharusnya guru menjadi contoh bagi anak didiknya, ini tidak dipraksiskan secara nyata. Dunia dan praktik pendidikan kita terombang-ambing dalam ketidakjelasan orientasi berpendidikan. Darmangtyas pernah menyebutnya sebagai pendidikan rusak-rusakan karena segala lini kehidupan pendidikan sudah semakin kehilangan arah. Ibarat gunung es, persoalan pendidikan hanya tampak di permukaan, padahal persoalan-persoalan lain yang lebih rumit dan kompleks tidak bisa muncul karena tersembunyi di bawah lautan.

Kondisi bertolak belakang pun juga tentang anak didik yang tidak sopan kepada gurunya saat di kelas. Bahkan ada yang memukul gurunya karena alasan sepele dan sebetulnya tidak perlu ditanggapi karena kita semua meyakini guru memiliki niatan baik dan tulus kepada semua anak didiknya, terkecuali oknum guru tertentu.

Setali tiga uang, antar guru pun juga demikian karena perselingkuhan dan lain sejenisnya. Ini semakin memperjelas ada permasalahan laten di dunia pendidikan kita. Tidak tahu dimana lokus persoalannya dari hulu ke hilir. Semua celah pendidikan sudah dimasuki oleh kepentingan yang tidak sehat yang membuat pelaksanaan pendidikan yang seharusnya memanusiakan manusia menjadi abai dijalankan. Akar persoalan lain pendidikan pun dapat muncul dari kebijakan pendidikan nasional yang juga berkontribusi walaupun ini bukan faktor dominan.

Mengurai Benang Kusut Yang terjadi pada pendidikan kita ibarat benang kusut. Semua kutub persoalan yang berpotensi mengganggu praksis pendidikan yang berdampak perubahan kebaikan dan kebajikan terbuka lebar. Dengan kondisi ini, kejelasan peran pendidikan untuk kemanusiaan dan peradaban pun menjadi tidak tampak di hadapan kita semua. Terlepas kondisinya terpuruk, mari memahami setiap sumbu persoalan akan memiliki ujung pangkal penyelesaian. Untuk itu, mari mengembalikan visi pendidikan perubahan ke jalan yang benar perlu diperkuat kembali sebagai enerji kemajuan. Pendidikan perubahan adalah sebuah proses berpendidikan yang menggerakkan setiap anak didik, sekolah, dan semua yang terlibat di dalamnya untuk bersama-sama memahami pendidikan untuk merubah mental dan cara berpikir manusia. Pendidikan tidak pernah mengajarkan manusia untuk berperilaku keburukan dan kemungkaran yang disebut homo homini lupus. Pendidikan akan selalu menjadi pijakan untuk kita semua menjadi pribadi-pribadi yang utuh dan komitmen untuk pembangunan manusia yang baik demi sesama dan semua. Masa depan anak didik ada bersama para guru yang hebat, namun guru yang hebat akan berhasil menghasilkan anak didik hebat ketika ada dukungan kuat dari orang tua dan masyarakat. Menurut Foerster, karakter anak didik yang hebat adalah hasil kerjasama semua pihak yang mampu berkolaborasi dan bersinergi yang baik dengan pikiran terbuka untuk perubahan dan masa depan anak didik. Semoga…

Mengelola Praksis Pendidikan Unggul untuk SDM Unggul

Banjarmasin Post, Kamis 7 September 2023 (baca pada halaman 4 di https://bitly.ws/UVpF)

Oleh MOH. YAMIN: pemerhati pendidikan, penulis buku-buku pendidikan

Di beberapa kesempatan pada setiap ceramah pendidikannya, Romo Driyakara selalu menasehati semua bahwa praksis pendidikan seutuh dan sejujurnya adalah melahirkan manusia-manusia yang berkeadaban publik dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Tak hanya itu, pendidikan bukan hanya memanusiakan manusia, namun juga menghomonisasikan manusia (baca: Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya). Pesan profetiknya adalah mari memaknai pendidikan agar setiap insan manusia selanjutnya bisa memiliki jiwa yang tangguh, selalu berkomitmen terhadap perubahan, dan memiliki empati yang tinggi terhadap lingkungan.

Wajah sesungguhnya pendidikan bukan di dalam kelas yang sangat sempit dan pengab, namun wajah anggun serta sejuk pendidikan adalah ketika semua manusia kemudian memiliki cara hidup dan pandang hidup yang terbuka terhadap perbedaaan dan keberagaman. Titik tekan dari praksis pendidikan yang mendialogkan perubahan dan dialogis adalah ketika kita semua dapat duduk bersama dalam membincangkan perubahan dan mimpi-mimpi besar untuk keadaban publik. Di lain momen, seorang Ki Hajar Dewantara pun tidak pernah lelah mengingatkan kita semua agar selalu mengajarkan ketauladanan, menjadi pendorong bagi yang muda untuk melangkah maju, jangan merasa tersaingi oleh yang muda dan berpikiran maju. Pada prinsipnya, yang ditekankan Bapak Pendidikan Kita adalah mari memosisikan kehadiran kita untuk kepentingan kemanusiaan dan ke-Indonesia-an.

Apa yang kemudian dinarasikan baik Driyarkara maupun Ki Hajar Dewantara pun senafas ketika membaca dan merefleksikan pikiran-pikiran bernas seorang Ir. Soekarno, sang Proklamator bahwa pendidikan bertujuan untuk membangun keyakinan setiap manusia untuk dapat berdiri tegak di kaki sendiri, tangguh melawan tantangan dan persoalan-persoalan. Setiap nilai-nilai hidup yang dialirkan dari pendidikan bermakna bagi internalisasi keyakinan kuat serta solid bahwa pendidikan menjadi pilar utama bagi pembangunan bangsa yang beradab. Kendatipun seorang Ir. Soekarno tidak pernah menulis secara utuh tentang perjalanan pendidikan dan konsep-konsep pendidikan, namun dari beberapa bukunya, sebut saja “Di Bawah Bendera Revolusi” selalu menegaskan pentingnya pendidikan untuk melahirkan manusia-manusia hebat, melawan para penjajah.

Pendidikan meletakkan dasar-dasar perjuangan dan kepribadian bangsa sehingga dengan kekuatan modal tersebut, manusia pada sebuah bangsanya memiliki keyakinan untuk maju. Moto “A Nation Without Belief Cannot Stand” yang selalu disampaikan Ir. Soekarno di setiap pidatonya memperlihatkan bahwa mari membangun keyakinan utuh untuk maju dan mari menjadikan pendidikan untuk mendidik setiap anak-anak Indonesia untuk meyakinkan diri mereka masing-masing bahwa Indonesia adalah bangsa maju pada masanya. Saya ingat betul ketika di setiap pidato kenegaraannya di masa penjajahan, termasuk ketika bersama rakyat di lapangan (saya menyimaknya melalui kaset yang disetel pada tape recorder masa itu) sangat berapi-api, memperlihatkan tekad dan semangat perjuangannya untuk memosisikan pendidikan sebagai ruang beraktualisasi diri, rumah perubahan untuk berubah dan merubah segala aspek kehidupan. Jangan pernah mengatakan bahwa pendidikan tidak merubah keadaan hidup setiap orang. Dalam ilmu filsafat, ada dua mahluk yang ada di bumi ini, mahluk rasional dan mahluk irrasional. Mahluk rasional adalah manusia dengan akal budinya, sedangkan mahluk iirasional adalah binatang dengan instingnya. Ini berarti bahwa manusia sejatinya memiliki nilai dan harga martabat yang tinggi. Untuk itu, sudah sewajarnya, kita perlu belajar, mempelajari banyak hal. Belajar jangan karena desakan dan tujuan intsrumental sebab itu akan mengaburkan tujuan berpendidikan.

Kita semua barangkali ingat kepada Tan Malaka, seorang penulis buku “Dari Penjara, Ke Penjara”. Seorang Tan Malaka kendatipun hidupnya berada di penjara tidak pernah berhenti belajar, tidak pernah mengatakan tidak untuk mengembangkan diri, selalu hidup dengan kemerdekaan belajarnya sehingga dia pun menjadi produktif menulis buku, berdiri tegak meneriakkan kebenaran pada rezim itu. Oleh sebab itu, memahami pendidikan dari para pelaku sejarah sudah semestinya memberikan angin segar bagi cara pandang hidup kita ke depan bahwa sesungguhnya setiap perubahan dan dinamika yang terjadi di masa kini untuk masa depan selalu dimulai dari pembentukan cara hidup, cara memahami setiap realitas. Hal-hal demikian diperoleh ketika manusia, termasuk anak-anak Indonesia meletakkan pendidikan sebagai modal utama bagi proses belajar dan pembelajaran. Seorang Mansour Fakih pernah mengatakan dengan konsepnya “Intelektual Organik” untuk menjadi manusia-manusia yang berpikiran organik. Berpikiran organik adalah cara pandang hidup yang melihat setiap realitas dari banyak perspektif, setiap hal masalah yang muncul memiliki sambungan pemicu yang spiral sehingga kita tidak bisa mengatakan bahwa sebuah masalah muncul tidak terlepas dari akar-akar persoalannya yang berkembang biak sebelumnya. Oleh karenanya, menjadi kelompok yang organik adalah jalan menuju perubahan itu. Kendatipun demikian, kita tidak akan bisa mencapai itu apabila tidak dibangun dengan berpikir organik.

Menarik apa yang disampaikan Paulo Freire, manusia jika ingin berubah dan mampu menjawab perubahan harus berpikiran kritis yang disebut dengan konsientisasi. Konsientisasi lahir dan muncul ketika kita mau peka dan memiliki kesadaran sosial tinggi terhadap persoalan-persoalan yang muncul di lingkungan sekitarnya. Jangan kemudian menjadi manusia yang pasif atau naif sebab sampai kapanpun tidak akan pernah tercipta perubahan. Perubahan itu adalah niscaya, namun keniscayaan bukan semata hukum alam yang secara tiba-tiba ada apabila tidak ada yang menggerakkan atau diciptakan. Manusia harus melakukan perubahan itu sebagai upaya meniscayakan perubahan tersebut.

Menjawab Momen Pendidikan Kekinian

Para siswa baru baik tingkat sekolah dasar, menengah maupun atas sudah berjalan sesuai regulasi yang dilakoninya. Para mahasiswa baru pun di pelbagai perguruan tinggi pun memasuki babak baru dimana mereka mulai belajar mengenal kampus dan perkuliahan. Mereka semua tidak boleh manjadi manusia-manusia pendiam, manusia-manusia pembelajar yang sebatas menerima ceramah para guru atau dosen. Mereka semua jangan semata menerima dan mengerjakan tugas yang diberikan para pengajarnya. Ada kewajiban besar dan mulia yang harus dilakukan, yakni belajarlah mengenal dunia secara lebih luas dan holistik. Tatap kehidupan mereka di masa depan yang jauh dengan cara hidup dan pandang yang visioner. Era disrupsi, mengutip pendapat Renald Kasali, menutup manusia-manusia masa depan untuk dapat berpikir disruptif untuk merebut peluang secara cepat dan memeroleh perubahan yang lebih baik.

Pendidikan, selanjutnya, menjadi sebuah pegangan utama yang harus mereka jalankan apabila mereka menginginkan ada perubahan pada dirinya di masa depan. Pendidikan adalah investasi masa depan yang secara kasat mata tidak tampak hasilnya sebab pendidikan menanamkan nilai-nilai (values), bukan seperti orang berdagang di pasar, shopee atau marketplace lainnya yang disebut transaksional (saya dapat apa; anda dapat apa). Untuk itu, mari menata hidup maju jika ingin maju dengan pendidikan demi kepentingan yang lebih besar untuk kemanusiaan dan peradaban unggul. Mari mengelola praksis pendidikan unggul untuk SDM unggul. Hanya dengan budaya unggul yang diterapkan dalam pendidikan, ini akan mendorong perubahan luar biasa bagi kemajuan bangsa serta menghasilkan SDM-SDM unggul di masa depan. Siapapun para pembelajarnya baik di sekolah maupun perguruan tinggi, jangan terjebak kepada kepentingan sesaat yang kemudian mengorbankan kepentingan jangka panjang. Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang dapat dirasakan dan dinikmati dampak perubahannya pada masa 15 tahun ke depan. Ayo merapatkan barisan untuk menata pendidikan yang mencerahkan anak-anak Indonesia. Semoga…

Dosen tanpa Marwah

Banjarmasin Post, Sabtu 15 April 2023 (baca pada halaman 4 di https://bit.ly/3mKDkrQ)

Oleh MOH. YAMIN: Dosen di Universitas Lambung Mangkurat

Menurut UU Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005 pada Pasal 1 ayat 1, dosen mendapatkan posisi sangat terhormat sebagai pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Ini berarti bahwa kehadiran tugas sejatinya memberikan kerja-kerja pencerahan dan diharapkan untuk terus semakin melakukan kemajuan peradaban dari sisi keilmuwan dan asas kemanfaatan bagi semua dan sesama.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada siapapun, tidak banyak manusia di Indonesia yang kemudian menjatuhkan dirinya sebagai dosen apabila secara syarat administratif tidak terpenuhi dengan sudah menyelesaikan studi S1, S2, dan ke depan diwajibkan S3. Karena begitu banyaknya tugas yang disandangkan kepada dosen, wajar saja jika kemudian masyarakat menaruh harapan besar kepada dosen dalam konteks pengembangan sumber daya manusia unggul. Dosen menjadi penggerak perubahan manusia unggul ketika dilihat(kan) dari keberhadirannya di perguruan tinggi. Namun menjadi persoalan ketika beban-beban administratif dosen semakin bertumpuk dari masa ke masa. Ini bukan berarti bahwa dosen kemudian disebut sebagai manusia super dan setengah dewa sehingga bisa melakukan hal apapun.

Membebani dosen secara administratif secara bertubi-tubi kemudian berpotensi menyandera idealisme, inovasi, dan kreativitas mereka sebab kemudian harus berada di pelbagai aras. Satu sisi, harus mengajar, meneliti, dan melakukan pengabdian kepada masyarakat. Di sisi lain, mereka dihadapkan kepada tugas-tugas tambahan yang tidak bisa ditolak ketika menjalankan tugas-tugas struktural. Di lain pihak, kerja administrasi menghitung sendiri kum kenaikan pangkat dan seterusnya menjadi drama ironis yang harus dijalani dosen. Kini muncul pertanyaan, apakah dosen akan mampu melakukan pengembangan keilmuannya serta memberikan kontribusi kepengajaran di ruang-ruang kelas bersama mahasiswa ketika begitu banyak beban kerja administratif yang dibebankan kepadanya? Secara aksiologis, dosen adalah penyebar pengetahuan yang notabene perlu mendapatkan akses yang lebih akomodatif, fleksibel dan luwes dalam kerja-kerja pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

Lonceng Kemunduran

Berita heboh teranyar adalah Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan dan RB) No. 46/2013 dimana salah satu bunyinya adalah dosen diminta untuk melakukan pengakuan angka kredit terhitung dari jabatan fungsional terakhir diterima hingga akhir tahun 2022 dengan waktu yang sangat terbatas hingga akhir April tahun ini menjadi sebuah analogi lonceng kemunduran bagi pengembangan dosen sebagai SDM unggul di perguruan tinggi. Secara sepintas, apa yang dinyatakan ini tampak menjadi hal biasa, namun pada kenyataan menimbulkan keresahan banyak dosen di republik ini baik perguruan tinggi negeri maupun perguruan tinggi swasta.

Pertama, pasalnya, aplikasi Sister tidak sanggup memfasilitasi arus sinkronisasi data dari Garuda, Sinta, dan lain-lain yang dipandang dapat menyuplai data ke Sister. Aplikasi yang disediakan LLDIKTI pun seperti Sijali dan mungkin nama lain (saya kurang menghafal satu per satu) tidak tersinkronisasi dengan PDDIKTI. Ini kemudian menjadi persoalan baru. Akhirnya yang harus dilakukan adalah kerja manual. Bisa dibayangkan jika dosen-dosen dalam 10 tahun terakhir belum mengajukan usulan kepangkatan dan jabatan fungsional karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, mereka selanjutnya diminta untuk melakukan input secara manual, maka bagaimana mereka akan mengalokasikan waktunya untuk mengajar, publikasi, dan lain-lain. Waktu yang terbatas karena tanggal 19 April adalah hari libur nasioal hingga 26 April sangat jelas sudah tidak memungkinkan mengurus syarat-syarat administratif yang diperlukan karena kantor tutup.  Terlepas kemudian ada surat edaran baru tertanggal 13 Mei 2023 yang menyatakan ada perpanjangan hingga 15 Mei ke depan, tampaknya ini menjadi bagian dari respon DIKTi setelah sejumlah guru besar dan dosen melakukan protes terhadap kebijakan tersebut. Kemudian muncul pertanyaan, apakah sudah sedemikian rapuhnya pengelolaan administrasi kebijakan sehingga terkesan mudah membuat kebijakan dan begtu mudahnya menarik kebijakan yang sudah dibuat dengan melakukan revisi.

Kedua, momen yang tidak tepat sebelum surat edaran terbaru terbit sebab terpotong dengan hari libur nasional yang panjang merupakan aspek lain yang menambah daftar buruk pengelolaan administrasi kebijakan publik tentang implimentasi Permenpan dan RB No. 46/2013. Kita semua meyakini bahwa tujuan dan niat baik pemerintah adalah baik, namun yang menjadi persoalan adalah apakah timingnya sudah diperhatikan secara penuh kematangan? Ketiga; jika data yang diperlukan kemudian secara pendokumentasian bagi beberapa perguruan tinggi yang kebetulan belum mapan secara administrasi diminta untuk mendukung bagi upaya penyediaan data-data pengakuan angka kredit dosen, ini pun menjadi mustahil terjadi.

Keempat, yang lebih ironis lagi adalah apabila tidak melakukan pengakuan angka kredit poin, maka (di)hangus(kan) dan tidak bisa dipakai untuk ajuan kepangkatan selanjutnya. Ini sanksi yang sangat kejam, terlepas kemudian tampaknya dalam surat edaran terbaru tidak muncul hal itu lagi, namun akan disesuaikan dengan skema karir dosen yang lebih baik sebagai upaya mengakui kesalahan secara tersirat.

Jalan Baru

Kita tidak bisa membiarkan situasi dosen yang semakin terbebani kerja-kerja administratif, kian berlarut-larut, selanjutnya mengganggu kerja-kerja pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Tugas dosen sudah berat sebagai penyebar ilmu pengetahuan dan dosen dituntut untuk semakin banyak membaca, melihat fenomena sosial untuk dapat dipecahkan dalam konteks memberikan solusi-solusi kemasyarakatan. Dosen sudah sewajarnya dikembalikan ke khittah awal sebagai pendidik, pengembang ilmu pengetahuan, dan penyebar ilmu pengetahuan untuk dapat menyinari republik ini, mendidik anak-anak bangsa demi generasi emas 2045. Mari secara bersama-sama bergandengan tangan mengatakan tidak kepada beban kerja administratif yang membunuh kreativitas dan inovasi. Untuk apa sekolah setinggi mungkin hingga ke negeri China sekalipun, walaupun pada akhirnya kembali ke kampus lebih banyak sibuk dan disibukkan dengan kerja administratif ketimbang kerja-kerja intelektual untuk mendidik sumber daya manusia unggul. Jangan sampai ada dosen yang kemudian tidak memiliki marwah akibat kehilangan ruang dan waktu untuk melakukan kajian-kajian intelektual, akademis selain pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Semoga…

Kacau Balau Paradigma Pendidikan Kita

Banjarmasin Post, Selasa 7 Maret 2023 (baca pada halaman 4 di (https://bit.ly/3A1HsH5)

Oleh MOH. YAMIN: Penulis buku-buku pendidikan

Melahirkan anak didik unggul menjadi tujuan dari praksis pendidikan di masa kini untuk melahirkan generasi emas 2045. Pendidikan yang diniatkan atas nama pembangunan sumber daya manusia unggul sudah semestinya dipahami dan didudukkan dalam konteks mengejar ketertinggalan pembangunan sumber daya manusia unggul. Ke depan, kemajuan bangsa ditentukan sepenuhnya dari kehadiran manusia-manusia unggul yang dapat berkontribusi bagi pembangunan. Kendatipun pembangunan infrastruktur digenjot dengan sedemikian rupa (baca: realitas), namun kita kemudian mengabaikan pembangunan sumber daya manusia unggul, maka ini kemudian melahirkan kebijakan pembangunan tanpa manusia yang bermutu. Pembangunan semu adalah pembangunan yang kemudian lebih mengejar kepada capaian fisik, namun capaian mutu manusia kemudian terabaikan dengan sedemikian telanjang bulat.

Pada prinsipnya, menjadi manusia-manusia seutuhnya yang secara lahir batin memiliki kecakapan hidup seutuhnya sangat dibutuhkan untuk mengisi setiap lini pembangunan. Manusia unggul diperlukan sebagai subyek-subyek yang akan bekerja untuk membangun bangsa dan lingkungannya. Oleh sebab itu, kehadiran pendidikan yang mampu dimuarakan untuk melahirkan bibit-bibit manusia hebat sudah semestinya ditunaikan secara terarah dan terprogram.

Persoalannya adalah apakah praksis pendidikan kita sudah menjalankan itu dan sudah sejauh mana pelaksanaan pendidikan yang sudah dijalankan di republik ini dalam konteks membentuk manusia-manusia unggul dengan multikecakapan hidup, sesuai dengan eranya, yakni pendidikan 4.0. Ketika mengamati perjalanan pendidikan yang sudah berlangsung di sekolah, tampaknya kehadiran kurikulum merdeka masih menyisakan persoalan tersendiri sebab tidak semua sekolah sanggup mengiyakan capaian yang diminta dalam kurikulum merdeka itu sendiri. Walaupun sudah ada sekolah penggerak dan guru penggerak, itu pun sebetulnya tidak menjamin bahwa pelaksanaan pendidikan yang dijalankan dan sedang dilakukan kemudian membuahkan hasil membanggakan dan memuaskan bagi tercapaianya pendidikan yang termaktub dalam kurikulum merdeka. Ini ditambah dengan persoalan lain bahwa guru pun dipaksa mengerjakan banyak pekerjaan administratif sehingga berperan ganda. Satu sisi harus menyiapkan perangkat pembelajaran dan di sisi lain menunaikan tugas-tugas administratif yang kemudian menjadi sebuah persoalan tersendiri.

Kita semua berharap agar para guru menghadirkan dirinya sebagai figur-figur pengajar sekaligus pendidik inspiratif kepada para peserta didiknya, ini masih isapan jempol belaka. Hal demikian tidak hanya terjadi di sekolah perkotaan, melainkan juga di daerah-daerah pinggiran sehingga mereka pun agak terhambat dalam mengakses informasi dan kondisinya lebih memprihantikan (baca: realitas). Akhirnya, yang terjadi pelaksanaan pendidikan yang seharusnya bermakna perubahan dan kemajuan bagi kehidupan anak didik lebih baik pun tampak berat dilaksanakan secara praksis. Pendidikan untuk SDM unggul di sekolah-sekolah menggambarkan sebuah refleksi dari realitas pelaksanaan kurikulum yang mungkin secara mimpi indah dibaca, akan tetapi sulit untuk dilaksanakan secara berhasil sebab infrastrukur dan suprakstruktur tidak siap sekaligus belum siap. Adanya regrouping sekolah-sekolah adalah penyumbang persoalan tersendiri (Banjarmasin Post, 6/01/2023).

Setali tiga uang, kurikulum merdeka kampus merdeka di perguruan tinggi pun mengalami hal sama. Secara konseptual, mahasiswa diharapkan memiliki banyak kecakapan hidup secara simsalabim dengan mengirim mereka ke tempat perguruan tinggi lain, ke perusahaan, dan tempat-tempat magang lainnya sebagai upaya yang konon disebut menyiapkan mahasiswa sebagai manusia-manusia dewa agar kelak ke depannya bisa memberikan kontribusi terbaiknya.

Persoalannya adalah mereka sesungguhnya dihadapkan kepada persoalan baru. Satu sisi, mereka belajar sesuai disiplin ilmu yang tidak matang dan tidak sempurna sebab di perjalanan masa studi dipindah menyeberang ke jalan yang bertolak belakang; sisi lain mereka dipaksa menimba banyak pengalaman di tempat-tempat lain yang sebetulnya bertentangan dengan naluri dirinya sebagai mahasiswa yang sudah pasti mengalir berproses hidup, bukan dibuat bimsalambim. Dengan kata lain, jam terbang atau pengalaman sesungguhnya tidak mesti direkayasa dengan sedemikian rupa dalam bentuk kurikulum sebab ini justru mereduksi proses pembelajaran hidup, mematikan substansi dari pengalaman hidup yang sebetulnya didapat pasca menyelesaikan studinya atau alumni. Untuk itu, ada yang salah dalam berpendidikan kita saat ini baik di sekolah maupun perguruan tinggi. Niat baiknya adalah mempercepat mereka belajar, mengenal dan memiliki banyak pengalaman hidup, namun langkah-langkah pembelajarannya tidak disesuaikan dengan usia dan masa (baca: psikologi pendidikan).

Apa yang kemudian perlu dicatat ke depan adalah selama cara berpikir pendidikan masih dipraksiskan dengan jalan cepat atau budaya menerabas, maka sampai kapanpun proses berpendidikan di republik ini tidak akan pernah menuju kepada kebaikan dan kebajikan. Jauh-jauh hari Kontjaraningrat sudah mengingatkan kita semua bahwa mental menerabas adalah praktik hidup yang sesungguhnya telah menolak dan mematikan becoming itu sendiri sehingga manusia-manusia anak didik menjadi hilang memaknai dan meresapi setiap arti perjalanan hidup yang penuh dengan pelajaran dan hikmah. Mental menerabas dalam pendidikan adalah sebuah tindakan yang sesat dan menyesatkan sebab anak didik dipaksa belajar dan mempelajari sesuatu hal tanpa memiliki konsep-konsep filosofis dari setiap perjalanan hidup itu sendiri.

Belajar dan mempelajari sesuatu hal yang sebetulnya asing karena bukan arena materi yang mesti dipelajarinya akibat kepentingan memaksakan tujuan merdeka belajar adalah bagian dari mental menerabas. Ini membuktikan bahwa praktik pendidikan kita mengajari sesuatu hal yang tidak benar secara konsep. Oleh sebab itu, bagaimana kita akan melahirkan anak didik yang memiliki konsep utuh dari sebuah pelajaran, mata kuliah atau disiplin yang dipelajarinya sementara mereka kemudian didesain dari sebuah kebijakan pendidikan yang tidak kuat secara epistemologis. Pendidikan kemudian selalu berada dalam ruang-ruang politik kepentingan yang sarat politik kekuasaan.

Saatnya Benahi Pendidikan

Kurikulum merdeka baik di sekolah maupun perguruan tinggi terus berjalan sesuai arahan pemegang kebijakan tertinggi di republik ini. Secara harapan, kita mendukung dengan adanya kurikulum merdeka yang meniatkan diri agar anak didik memiliki pengalaman hidup yang kaya sehingga mereka tidak menjadi berkacamata kuda, memandang sesuatu hal atau sebuah persoalan dari satu perspektif tertentu saja. Harapannya dengan jam terbang pengalaman yang luas, mereka menjadi manusia-manusia yang berpandangan luas dalam menjalani kehidupannya kelak sebagai pemimpin masa depan. Namun terlepas dari hal tersebut, tetap menjadi penting untuk meneguhkan bahwa disiplin atau mempelajari disiplin adalah sebuah keharusan tanpa kemudian memotong rute-rute pemahaman konsep disiplin ilmu yang sudah dipilih sejak awal agar mereka menjadi utuh menguasai konsep disiplin ilmunya. Jika kemudian diperlukan capaian pembelajaran lain (bukan capaian pembelajaran tambahan) sebagai pengikat dan penguat terhadap disiplin ilmu sebagai bagian tidak terpisahkan, mengalokasikan ruang-ruang pembelajaran lain, tersedia dalam kurikulum yang lebih luas sudah semestinya dipertimbangkan untuk ada sehingga anak didik ke depannya memiliki kecakapan ganda; pertama sesuai disiplin ilmu dan kedua jembatan menuju lahirnya sumber daya manusia unggul sehingga mereka menjadi insan-insan pembelajar yang inovatif, kreatif, problem solver atau kritis, kolaboratif serta melek teknologi informasi agar mereka tidak ketinggalan jaman, selalu update serta responsif terhadap setiap perubahan dan dinamika. Oleh sebab itu, mari bersama-sama meletakkan cara pandang atau paradigma pendidikan yang kuat secara epistemologis sehingga republik ini melahirkan manusia-manusia unggul. Semoga…

Literasi Digital dari KTT G20 untuk Generasi Unggul

Banjarmasin Post, Sabtu 19 November 2022 (baca pada halaman 4 di https://bit.ly/3mHUR3V)

Oleh MOH. YAMIN: Dosen di Universitas Lambung Mangkurat

Penyelenggaraan KTT G20 di Bali sudah selesai dan semua kepala negara serta delegasi sudah kembali ke negara masing-masing. Ada pesan menarik yang muncul dari acara tersebut, yakni pentingnya literasi digital sebagaimana yang disampaikan Presiden Joko Widodo. Ke depan, menjadi penting bagi siapapun untuk menguasai literasi digital sebagai bagian tidak terpisahkan dari pembangunan kemanusiaan dan sumber daya manusia unggul.

Kemampuan literasi digital bukan lagi sebuah pilihan, melainkan keharusan untuk dapat menjadi bagian dari warga bangsa maju. Setiap kita sudah seharusnya melek teknologi informasi sehingga tidak mudah tertipu atau terprovokasi oleh informasi-informasi yang menyesatkan (baca: realitas). Warga bangsa jika ingin maju sudah seharusnya mengambil peran aktif dalam proses pendewasaan dan pematangan literasi digital sebab masanya adalah era sosial media, era informasi yang serba disruptif sehingga perlu semakin kritis dan peka terhadap setiap informasi yang masuk dan layak dikonsumsi.

Kecerdasan dalam menghadapi gempuran informasi sesungguhnya merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi perjalanan kehidupan warga bangsa sebagai upaya untuk semakin bergerak maju, menghadirkan dirinya sebagai subyek-subyek yang selalu menguatkan kemampuan dirinya, menjadikan dirinya sebagai pribadi-pribadi yang tahan terhadap ujian informasi antara benar dan palsu serta di antara kedua hal tersebut. Ini berarti bahwa kemampuan untuk memilah dan memilih sumber informasi yang ada di depan mata membutuhkan kejernihan berpikir, keterbukaan dalam menerima setiap informasi untuk dikaji sumbernya, dan begitu seterusnya.

Kesiapan diri untuk menahan diri agar tidak termakan informasi yang kemungkinan salah atau palsu sudah semestinya disiapkan dengan sedemikian rupa sebagai bagian dari literasi digital. Jangan mau diadudomba atau terpecah-pecah karena informasi yang belum pasti kebenaran dan sumbernya. Literasi digital kemudian perlu dipelajari, dipahami, dan dimiliki untuk setiap kita agar bisa menjadi bagian dari perubahan kehidupan yang baik ke depannya. Oleh karenanya, literasi digital melibatkan kemampuan dalam menganalisa, memahami, memberi penilaian pada sejumlah informasi yang didapatkan dan menjalankan evaluasi pada informasi tersebut (Relita & Yosada, 2021).

Pendidikan literasi digital

Pendidikan literasi digital sebagaimana pesan Joko Widodo sangat diperlukan bagi pembangunan anak didik yang unggul. Pendidikan semacam ini menjadi modal mereka untuk semakin aktif dan partisipatif dalam pembangunan kemanusiaan dan sumber daya manusia unggul. Pasalnya, mereka kini sudah masuk dalam kehidupan yang serba digital. Telpon pintar (smartphone) yang rutin mereka pegang secara otomatis menyediakan pelbagai informasi yang tidak perlu dicari namun datang sendiri, memberikan pilihan-pilihan informasi kepada para pengguna.

Kemampuan belajar anak didik juga seharusnya didukung oleh literasi digital yang memadai dan maksimal untuk memelekkan mereka terhadap wawasan, pengetahuan dan informasi sehingga semua anak didik dapat tumbuh berkembang sebagai subyek pembelajar yang haus pengetahuan. Literasi digital apabila dimanfaatkan dengan baik untuk kepentingan belajar dan pendidikan akan berdampak positif bagi kemajuan pendidikan dan belajar anak didik. Literasi digital memberikan peluang baru bagi penguatan kecakapan hidup belajar anak didik agar mereka semakin terbiasa dalam menggali informasi yang dibutuhkan demi kepentingan belajar dan pendidikannya. Literasi digital adalah sebuah peluang emas bagi anak didik untuk semakin hadir dengan kecakapan-kecakapan kehidupan barunya agar tidak ketinggalan informasi yang sehat dan membuang jauh-jauh informasi yang sesat, palsu.

Apa yang kemudian perlu dilakukan untuk memperkuat literasi digital dalam proses memanusiakan anak didik adalah pentingnya mengenalkan anak didik dalam kerangka pendidikan digital yang santun, tidak mudah menerima satu informasi apapun tanpa terlebih dahulu dikaji dan dievaluasi.

Apapun yang terjadi, literasi digital perlu dipelajari oleh setiap anak didik bukan karena kebutuhan sekolah karena menjadi bagian dari kurikulum, melainkan karena pentingnya untuk kehidupan mereka ke depan. Generasi ke depan adalah generasi yang siap untuk menerima tantangan baru kehidupan. Salah satu cara untuk bisa maju dan menjadi bagian dari perubahan dalam tantangan ke depan adalah keharusan anak didik untuk menjadi melek digital.

Cara belajar baru

Kehidupan yang serba digital tidak bisa ditawar-tawar lagi, akan tetapi sebuah keharusan untuk dijalani dan semua anak didik pun harus masuk dalam era digitalisasi kehidupan dimana apa yang mereka pelajari bukan hanya yang ada dalam buku teks pelajaran baik itu buku wajib maupun buku pendamping. Anak didik pun harus mampu mengakses informasi untuk memperkuat apa yang dipelajari di buku pelajaran dengan mencari informasi tambahan melalui teknologi informasi.

Berada pada dua alam, yakni alam nyata dan alam digital pun sama sama perlu dijalani dan dilalui agar mereka dapat menyeimbangkan segala pelajaran yang sudah dipelajarinya. Kendatipun demikian, upaya sekolah pun perlu maksimal dalam mengarahkan anak didiknya dalam memanfaatkan digitalisasi kehidupan agar apa yang mereka pelajari sejalan seiring dengan pendidikan atau aktivitas belajar di sekolah. Lingkungan kondusif dan positif di sekolah yang mengarahkan pada literasi digital untuk meningkatkan kapasitas pengetahuan anak didik pun perlu dibentuk dengan sedemikian rupa. Pelbagai strategi perlu dilakukan sehingga kemauan anak didik dalam literasi digital mendukung tujuan pendidikan dan belajar di sekolah. Sekolah menjadi ruang yang menarik dan menyenangkan, membawa asas kebaikan bagi anak didik dalam menimba ilmu pengetahuan.

Cara belajar baru ini perlu dirawat dengan baik, bermakna bagi penguatan aktivitas belajar berbasis literasi digital. Yang perlu menjadi titik tekan adalah implimentasi literasi digital perlu dikontekstualisasi pada pengalaman hidup nyata sehingga apa yang mereka peroleh dari media teknologi informasi komunikasi dapat dikaji kebenarannya dalam dunia nyata. Oleh sebab itu, pendidikan dalam konteks apapun, termasuk literasi digital perlu memberikan arah belajar anak didik yang berorientasi kepada peningkatan mutu hidup anak didik. Mereka belajar untuk menjadi unggul. Dengan literasi digital yang kuat, mereka menjadi utuh dalam menyerap informasi apapun. Dengan basis pengalaman kehidupan nyata, literasi digital menjadi bermakna dan berkontribusi bagi pembangunan sumber daya manusia unggul. Generasi masa depan jika bangsa ini ingin maju harus dirintis, dibangun, diarahkan, dikawal sejak dini dengan penguatan literasi digital yang mumpuni. Oleh sebab itu, mari kita semua baik sekolah, orang tua maupun semua elemen masyarakat lainnya perlu mendukung komitmen Presiden Joko Widodo sepenuhnya untuk melahirkan anak didik yang melek literasi digital untuk masa depan bangsa demi melahirkan manusia unggul masa depan.

Jangan Ada Diskiriminasi Layanan Pendidikan

Banjarmasin Post, Kamis 20 Oktober 2022 (baca pada halaman 4 di https://bit.ly/3UHF81i)

Oleh MOH. YAMIN: Dosen di Universitas Lambung Mangkurat

Walaupun kisruh mengenai RUU Sisdiknas sudah mereda dan menghilang di tengah arus isu-isu besar lainnya sekaligus konon batal masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022 yang dipaksakan, tampaknya tetap penting membahas ini sebagai bagian dari upaya refleksi diri bahwa pendidikan akan selalu menjadi ladang penting bagi pembangunan sumber daya manusia unggul. Akses mendapatkan pendidikan pun perlu dan wajib dibuka lebar kepada siapapun, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan ekonomi. Menjadi anak-anak bangsa yang sedang terhimpit bencana ekonomi keluarga wajib diperjuangkan. Mereka juga memiliki mimpi yang sama untuk mengukir masa depan, memberikan makna perubahan yang lebih baik bagi masa depan bangsa. Dalam RUU tersebut, ada satu hal yang sangat substansial yang konon hilang dalam draft, yakni terkait hilangnya madrasah.

Kita semua tidak tahu apa yang mendasari hilangnya hal tersebut, apakah sekolah-sekolah madrasah seperti Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah kemudian bukan menjadi bagian tidak terpisahkan dari sekolah-sekolah yang turut memberikan kontribusi bagi pembangunan sumber daya manusia unggul? Apakah karena madrasah ada di Kemenag sehingga RUU Sisdiknas menghilangkan itu? Namun apapun yang terjadi, apakah sekolah itu berada di bawah Kemenag atau Kemdikbud, kita semua memiliki satu pandangan yang sama bahwa pendidikan menjadi modal utama dalam mendidik anak-anak negeri. Setiap dari mereka berhak mendapatkan layanan pendidikan yang sama tanpa terkecuali.

Memberikan layanan pendidikan seutuhnya menjadi kewajiban negara. Jangan hanya sekolah di bawah Kemdikbud yang dianakemaskan, sedangkan sekolah-sekolah di luar itu kemudian dipinggirkan. Pendidikan itu selalu membincangkan bagaimana setiap anak didik negeri dapat mengembangkan kapasitas dirinya, membangun kemuliaan hidupnya dengan memiliki keahlian-keahlian hidup yang mandiri. Pendidikan inklusif ke siapapun tanpa harus melihat dari mana asal orang tersebut. Pendidikan menjadi milik bersama yang kemudian dapat dinikmati bersama. Jika sebuah bangsa ingin maju, maka benahi pendidikan agar semua sumber daya manusianya unggul dan memiliki kualitas mumpuni.

Pendidikan tanpa Kotak

Pendidikan yang dapat menjawab tantangan dan perubahan adalah ketika ia mampu menjadi milik bersama. Siapapun dapat menikmati dan mencicipi pendidikan. Dari manapun asalnya apakah berasal dari kalangan atas, menengah, atau bawah, semua secara bersama-sama bisa belajar bersama, membangun dan mengembangkan kapasitas dirinya untuk menjadi lebih baik dan begitu seterusnya. Setiap anak bangsa walaupun berada dalam rumah yang berbeda, dalam sebuah lembaga berbeda karena berbeda kementerian tetap diperlakukan sama sebagai anak bangsa. Mereka belajar untuk menjadi lebih baik dan ketika sudah besar, matang, mumpuni dalam bidang yang ditekuninya, mereka selanjutnya menyumbangsihkan perannya dalam pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pendidikan sudah seharusnya dimaknai sebagai sebuah perjuangan bersama walaupun setiap anak negeri yang belajar berada dalam lembaga dengan kementerian berbeda. Setiap anak negeri belajar bukan karena mencari persaingan, berlomba-lomba untuk siapa paling hebat di antara lembaga kementerian yang menaunginya. Mereka semuanya akan kembali kepada pangkuan ibu pertiwi, untuk mendarmabaktikan pengetahuannya sehingga masyarakat dan lingkungannya mendapatkan manfaat nyata atas sebuah dedikasi pengetahuan untuk masyarakat.

Pendidikan selalu perlu ditempatkan dalam ruang terbuka lebar walaupun berada dalam lembaga kementerian berbeda. Negara dalam konteks ini sudah seharusnya menjadi rumah bersama bagi mereka sehingga jangan ada layanan pendidikan diskriminatif. Menjadi pemimpin sudah semestinya menjadi payung untuk semua, memberikan kesejukan dan keteduhan untuk semua agar semua anak negeri yang sedang belajar, menimba ilmu menjadi tenang dan khusuk dalam belajar. Sejarah perjalanan bangsa mencatat bahwa jauh sebelum ada sekolah-sekolah di bawah kemdikbud, sekolah-sekolah madrasah sudah ada lebih awal dan mereka berkontribusi nyata bagi perjalanan pendidikan dari masa ke masa.

Sekolah-sekolah madrasah ikut mengawal kemerdekaan, menjadi bagian tidak terpisahkan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa di masa awal kemerdekaan dan sebelum kemerdekaan. Ini bermakna bahwa sekolah-sekolah madrasah berdiri tegak untuk gerakan pencerahan dan pencerdasan saat itu. Oleh karenanya, marilah kita semua untuk tidak melupakan sejarah. Karena sejarah dari masa ke masa, pendidikan saat ini kemudian semakin maju, mengalami banyak kemajuan sehingga ke depan kita berharap bahwa anak-anak negeri semakin mudah mendapatkan fasilitas pendidikan.

Berpikir Ahistoris

Siapapun yang mengusulkan RUU Sisdiknas dengan menghilangkan madrasah, mereka sebetulnya sudah berpikir ahistoris, melupakan jasa madrasah yang sudah mengabdikan dirinya sebagai sekolah-sekolah milik rakyat di masa itu. Berpikir ahistoris adalah bagian dari berpikir sempit dan kerdil, memandang masa kini tidak memiliki hubungan dengan masa lalu. Hanya mereka yang merasa lahir saat ini, besar saat ini, berpendidikan saat ini kemudian mengklaim dirinya tidak memiliki pengalaman hidup pendidikan di masa lalu. Jika semua guru bangsa di masa perjuangan pendidikan dari masa ke masa masih hidup (baca: tokoh pendidikan), mereka akan menjadi orang pertama yang akan menolak untuk membeda-bedakan kontribusi antara sekolah madrasah dan bukan madrasah.

Untuk itu, mari kembali ke jalan yang benar bahwa sekolah madrasah di bawah Kemenag selain sekolah di bawah Kemdikbud sama-sama memiliki kepedulian yang sama untuk mendidik dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Jangan ada tebang pilih dalam memberikan akses dan layanan pendidikan. Hanya mereka yang berpikir visioner, praksis dan perjalanan pendidikan di republik akan maju dan semakin maju ke depannya. Semoga RUU Sisdiknas jika kembali masuk Proglegnas (tidak tahu kapan) sudah menyertakan madrasah di dalamnya, termasuk detail pasal yang mampu menopang perjalanan pendidikan menjadi lebih baik dan maju.

Mahalnya Biaya Pendidikan Akibat Kenaikan BBM

Banjarmasin Post, Rabu 7 September 2022 (baca pada halaman 4 di https://drive.google.com/file/d/1LleVMcbVbLOPALIrSHLcOgZheuIiWTSy/view?usp=sharing)

Oleh MOH. YAMIN: Dosen di Universitas Lambung Mangkurat

Penyelenggaraan pendidikan yang bebas dari biaya mahal merupakan amanat konstitusi. Pendidikan yang dapat diakses semua anak negeri tanpa terjebak kepada kelas sosial apapun menjadi harapan semua. Pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa, membawa perubahan bermakna bagi pembangunan peradaban, dan kemudian mengantarkan generasi menjadi bernilai menjadi target di setiap pembangunan manusia unggul. Setiap praksis pembangunan manusia unggul wajib dijalankan dengan pendidikan yang membebaskan semua anak didik dari jeratan biaya mahal agar mereka kemudian dapat menikmati akses pendidikan yang berkeadaban.

Pendidikan jangan selalu dikaitkan dengan biaya mahal ataupun kebijakan negara yang baru-baru ini diterbitkan (3/09/2022), yakni kenaikan kebijakan Bahan Bakar Minyak (BBM). Dalam logika masyarakat awam, kenaikan BBM sudah pasti menghantam kehidupan masyarakat, tidak terkecuali anak didik yang kini sedang belajar. Hantaman kebijakan tersebut mengarah kepada biaya buku yang dipastikan juga naik, biaya-biaya pendidikan lainnya yang berjalinkelindan langsung atau tidak langsung kepada praksis pendidikan.

Dampak yang sangat nyata terasa adalah segala kebutuhan yang diperlukan anak didik dalam belajar pun merangkak naik. Biaya persekolahan dan pendidikan dipastikan mengalami perubahan harga yang sebelumnya terjangkau menjadi sulit dijangkau. Selain itu, biaya transportasi yang diperlukan anak didik dari rumah ke sekolah pun atau dari sekolah ke rumah dipastikan juga naik sehingga kondisi ini menjadi sebuah persoalan sendiri yang perlu disikapi dengan penuh kesungguhan hati dan serius.

Berbicara pendidikan bukan semata terkait ketika anak didik berada di sekolah, namun sebelum mereka masuk sekolah juga perlu menjadi catatan tersendiri agar mereka menjadi jelas duduk persoalannya. Apakah dengan kenaikan BBM, ini juga berdampak kepada kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti anak didik? Tanpa harus menutupi diri, ini juga memberikan pukulan telak sebab biaya untuk menghidupkan kegiatan di luar sekolah pun memerlukan biaya penyesuaian sehingga kondisi ini sesungguhnya merupakan sebuah keadaan yang sulit dan memprihatinkan. Arah belajar anak didik pun menjadi terganggu dan mereka kemudian perlu menyesuaikan banyak kebutuhan di luar jam pendidikan dan persekolahan.

Salah Urus Pendidikan

Alasan pemerintah menaikkan harga BBM karena menyesuaikan dengan harga minya dunia dapat diterima sebab umumnya itulah alasan yang selalu disampaikan dari satu rezim ke rezim selanjutnya. Persoalannya adalah ketika ini mengganggu stabilitas penyelenggaraan pendidikan, apakah ini juga tidak menjadi pertimbangan sebelum dinaikkan. Dalam konteks sebuah pelaksanaan pendidikan yang menuntut pencerdasan kehidupan berbangsa, negara selalu memiliki satu komitmen serius agar semua anak didik dapat belajar, fokus dalam mencari ilmu dan wawasan pengetahuan, serta mampu menimba pengetahuan sebanyak mungkin.

Kondisinya menjadi berbeda dan ironis ketika di sisi lain, mereka menjadi terhambat, kehilangan masa belajar yang kondusif. Bagaimana bisa mengurus pendidikan yang dapat membawa perubahan bagi kehidupan pendidikan anak didik sementara kebijakan kenaikan harga BBM berpotensi merusak perjalanan cita-cita bersama untuk generasi emas. Kita semua meyakini bahwa setiap menuju keberhasilan dalam mencapai mimpi, akan selalu ada tantangan yang perlu dihadapi dan dilewati bersama.

Dalam konteks ini, kita menyetujui itu, akan tetapi bagi anak-anak negeri yang hidup dengan kondisi pekerjaan dan pendapatan orang tua mereka serba pas-pasan dan hanya cukup untuk bertahan hidup, apakah kondisi semacam ini sudah masuk dalam catatan kritis.

Marilah mengurus pendidikan dengan sebaik mungkin yang dapat memberikan akses mudah, murah, terjangkau, dan bermutu kepada semua anak didik di negeri ini. Mereka adalah generasi masa depan yang akan melanjutkan pembangunan. Ketika negara sudah memiliki cita-cita mulia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan semua anak didik dapat belajar, mengembangkan dirinya menjadi pribadi-pribadi inovatif, kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif untuk Indonesia maju ke depan, mereka sudah seharusnya dikawal seutuh mungkin. Jangan bebani mereka, terutama orang tua mereka dengan beban hidup yang semakin berat.

Usia 77 tahun Indonesia mereka adalah mengisi kemerdekaan dengan memerdekakan warganya, rakyatnya, anak didik menjadi manusia-manusia unggul di setiap tahap perkembangan pembangunan jati dirinya. Jangan diganti hari kemenangan di usia 77 tahun ini dengan beban hidup yang semakin memprihatinkan dan suram sehingga para orang tua anak didik menjadi khawatir dengan masa depan pendidikan anak-anaknya. Masa depan mereka adalah masa depan Indonesia ke depan. Masa depan pendidikan yang mencerahkan dan mencerdaskan semua anak bangsa menjadi pekerjaan bersama yang perlu dikerjakan secara gotong royong.

Mengelola pendidikan yang humanis, selalu berpihak kepada anak didik merupakan harapan dan cita-cita bersama. Untuk itu, hadirnya kebijakan kenaikan harga BBM sesungguhnya bagian dari kado pahit bagi perjalanan pendidikan di republik ini. Konon, kita disebut merdeka dari kebijakan-kebijakan yang menghimpit kehidupan para orang tua anak didik dalam rangka menyekolahkan mereka supaya menjadi anak-anak yang pintar, cerdas, dan berkarakter, ini masih isapan jempol belaka. Saatnya Indonesia maju; saatnya anak didik dapat belajar dan bersekolah tanpa terbebani dengan biaya pendidikan yang mahal. Oleh sebab itu, marilah bersama mengajak negara melahirkan kebijakan yang berpihak kepada kepentingan anak didik dan orang tua anak didik. Negara memegang tombol untuk menarik kembali kebijakan yang sudah diterbitkan demi kepentingan kehidupan berbangsa, mencerdaskan kehidupan anak didik, membawa perubahan pendidikan yang memerdekakan anak didik dari beban ekonomi tinggi dan mahal. Mari bekerja untuk kemajuan, pencerahan dan pencerdasan untuk semua anak didik di republic tercinta ini tanpa terkecuali.