Banjarmasin Post, Selasa 26 Maret 2024 (baca pada halaman 4 di https://bitly.ws/3gUY4 dan bisa diakses di https://banjarmasin.tribunnews.com/2024/03/26/internalisasi-pendidikan-untuk-peradaban)
Oleh MOH. YAMIN: Pemerhati pendidikan, penulis buku-buku pendidikan
Seorang filsuf Frithjof Schuon berkata jika ingin menjadi manusia seutuhnya, mari meletakkan pendidikan sebagai kunci pemanusiaan manusia. Pasalnya, pendidikan mengajarkan setiap manusia untuk dapat mengenal diri dan lingkungannya. Mengenal dirinya sendiri berarti bahwa manusia harus memahami apa yang mesti dilakukan untuk dirinya demi pengembangan kapasitas diri. Memahami dirinya bermakna bahwa setiap orang memiliki tanggung jawab untuk terus belajar dan belajar, membaca setiap realitas sebagai sumber belajar, memberikan makna terhadap apa yang sedang dibaca, dan selanjutnya melakukan kontekstualisasi makna dan pesan yang diperoleh dari hasil membaca realitas. Memahami dirinya mengilustrasikan kerja-kerja perubahan yang mesti dilakukan.
Perubahan adalah sebuah hal niscaya, mengutip pendapat Heraklitos. Ini berarti bahwa pendidikan memberikan pesan-pesan perubahan agar perilaku manusia terus dirubah menjadi baik dan lebih baik. Hanya dengan belajar kepada realitas, manusia kemudian akan menjadi bermakna dan dimungkinkan menjadi lebih baik. Pendidikan kritis menjadi jalan yang perlu dibuka dan dilakukan sebagai langkah baik agar terjadi dinamika. Apakah kita selama ini sudah menjadi manusia-manusia yang sudah memahami hakikat kita sebagai manusia yang terus belajar, mengembangkan diri, dan menaikkan kapasitas diri? Jawaban bisa beragam dari tidak, setengah iya, dan ragu-ragu.
Barangkali lisan kita mengatakan iya namun tidak menjamin iya ketika hati ikut menjawab secara jujur. Terlepas apapun jawabannya, kejadian demi kejadian yang menimpa kita di dunia pendidikan membuktikan bahwa masih ada yang salah di praksis pendidikan kita. Bullying yang marak terjadi walaupun yang muncul di media publik terbatas sesugguhnya ibarat gunung es bahwa ada yang keliru saat anak didik belajar di sekolah. Anak-anak seolah aman dan nyaman belajar di sekolah, di kelas akan tetapi bahaya laten kemanusiaan mengintai mereka. Kekerasan di sekolah dimungkinkan akan muncul baik dalam momen segera atau potensial terjadi di masa selanjutnya.
Rabindranath Tagore mengatakan bahwa sekolah akan selalu menjadi penjara bagi anak didiknya sebab mereka sebetulnya berada dalam kebijakan pendidikan yang membelenggu. Lingkungan pendidikan yang memaksa anak didik terus belajar dan kehilangan ruang untuk melepaskan kepenatan dan stress hidup menjadi pemicu (baca: kebijakan kurikulum). Selain mungkin faktor keluarga yang abai terhadap dinamika dan perkembangan kejiwaan anak dengan semakin dekatnya anak kepada kehidupan informasi di teknologi bernama gadget. Menjadi wajar jika kondisi anak di sekolah mengalami disorientasi sehingga ini membuktikan bahwa mereka tidak belajar. Makna semantik dari belajar bukan semata menghafal, menjawab soal-soal yang diberikan guru di kelas, menjawab pertanyaan guru, menyimak dan memahami yang dipaparkan guru atau anak didik dapat melakukan presentasi topik pada mata pelajaran tertentu di depan kelas. Ini hanya kemampuan kognitif yang sebetulnya tidak membekas dan membentuk perilaku kehidupan anak yang baik. Dalam bahasa agama, kita menyebutnya akhlaq yang baik, belum tentu mereka peroleh setelah menjalani fase-fase belajar di kelas.
Apa yang kemudian dilakukan guru selama ini di kelas pun sebetulnya juga belum berhasil (saya tidak mengatakan berhasil) membentuk pribadi-pribadi anak didik yang berkarakter. Thomas Lickona mengatakan bahwa membangun dan menanamkan nilai-nilai karakter kepada anak didik memerlukan proses panjang. Seorang pedagog asal Jerman F.W Foerster (1869-1966) mengatakan bahwa pendidikan karakter merupakan langkah guna membentuk karakter yang selanjutnya termanifestasikan dalam kesatuan esensial subjek dengan perilaku dan sikap hidup setiap pribadi manusia. Dalam proses pendidikan yang selama ini berlangsung di sekolah, kita belum sampai ke arah tersebut. Kekerasan antar pelajar adalah varian dari kehidupan disorientasi pendidikan anak didik yang dihasilkan dari proses berpendidikan di sekolah. Apakah guru dan sekolah adalah pihak yang perlu dikambinghitamkan? Jawabannya adalah tidak. Guru dan sekolah sudah bekerja keras, sudah melakukan usaha maksimal dan optimal dalam pelaksanaan pendidikan dan pengawasan di sekolah.
Capaian Formalitas
Capaian-capaian pendidikan selama ini hanya berada di ruang-ruang formalitas dan simbolik. Anak disebut berhasil dan mencapai derajat pendidikannya di sekolah ketika menerima angka tertinggi pada setiap mata pelajaran. Sedangkan usaha untuk memupuk dan merawat anak menjadi beradab menjadi terabaikan. Ruang-ruang mencapai prestasi akademik sangat tinggi sehingga seolah manusia disebut berhasil ketika memiliki capaian akademik tertinggi. Pendidikan dikaitkan dengan anak belajar dan berhasil di gelanggang formalitas yang mengabaikan hal-hal substansial menuju pendidikan yang berorientasi kepada nilai-nilai hidup. Nilai-nilai pendidikan yang berjalinkelindan dengan keluhuran, kemuliaan, menjunjung tinggi harkat martabat kemanusiaan, mendorong menjadi manusia yang peka terhadap sesama, menaikkan derajat penghormatan atas nama kemanusiaan dan peradaban masih ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. Secara hakiki dilihat dalam pendekatan perenialisme, pendidikan mengajarkan setiap insan manusia, anak didik untuk mengenal dirinya sebagai makhluk yang tidak boleh menyombongkan diri karena kekuasaan, ketamakan, harta materi dan hal-hal apapun yang identik dengan kultusisasi hawa nafsu. Pendidikan perenealis menanamkan nilai hidup dan kehidupan kepada semua anak manusia untuk belajar karena panggilan hati untuk kebaikan, memperbaiki diri menjadi lebih baik, menata diri secara jiwa, dan menajamkan hati pikiran agar semakin memiliki kepekaan sosial yang tinggi sehingga memiliki keberpihakan perjuangan kemanusiaan. Kita semua meyakini apabila hal-hal demikian mampu dijalankan, ini menjadi langkah semua untuk melahirkan anak didik yang baik sehingga kerja internalisasi pendidikan untuk peradaban akan dapat diwujudkan dengan baik. Tidak ada kata “tidak bisa” untuk melakukan ikhtiar dan perjuangan kebaikan. Terlepas itu, enerji kolektif semua orang yang terlibat untuk menghadirkan pendidikan yang memanusiakan manusia dan memberikan karpet merah pendidikan yang memberikan ketulusan memerlukan kerja keras bersama, tidak hanya guru dan sekolah, namun juga orang tua dan masyarakat. Akhir dari perjuangan pendidikan semacam ini, tidak akan ada praktik bullying, kekerasan pelajar, dan tindakan destruktif lain yang bermuara kepada kehancuran masa depan pendidikan anak didik.