Month: Desember 2009

Kantin Kejujuran

Kompas Jatim, 17 Desember 2009

Oleh Moh. Yamin: Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Malang

Berawal dari gagasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai pentingnya Kantin Kejujuran sebagai media melakukan pendidikan dini untuk hidup jujur kepada semua anak didik di sekolah dan telah dilakukan di beberapa sekolah di Jakarta dan sekitarnya, maka kini gagasan tersebut mendapat respon positif dari pemerintah provinsi (pemprov) Jawa Timur (Jatim) agar Kantin Kejujuran dibangun di daerah-daerah se-Jatim. Jumlahnya adalah 380 Kantin Kejujuran yang disebar di 38 kota/kabupaten se-Jatim. Dana yang digunakan diperoleh dari anggaran pemprov Jatim sebagai bagian gerakan dari pro-aktif guna mendukung pembangunan kesadaran kepada seluruh peserta didik agar mereka mampu menjadi pribadi-pribadi yang bebas dari mental koruptif. Seluruh anak didik menjadi individu yang secara serius dan bertekad bulat menjauhkan diri dari patologi koruptif. Pasalnya, patologi destruktif sedemikian telah membuat kehidupan bangsa mengalami karut marut.

Tindakan korupsi telah membuat uang rakyat yang ada di kas negara, termasuk daerah sudah dihabisi dengan sedemikian luar biasa oleh para koruptor. Korupsi telah membuat kehidupan rakyat kemudian menjadi sangat susah dan melarat. Akibat tindakan korupsi, uang yang ada di kas negara kemudian gagal diperuntukkan demi kemakmuran dan kesejahraan rakyat. Dengan demikian, Kantin Kejujuran sesungguhnya sangat membantu memberikan nilai pendidikan baru bagi para siswa untuk memahami arti dan makna hidup. Mereka bisa terbentuk mental dan karakter untuk tidak berbohong. Ke depan, setidaknya, mereka pasca selesai dari bangku sekolah kemudian mampu menjadi pemuda dan pemudi yang sangat membenci korupsi. Para siswa, idealnya, mampu menerapkan semangat dan nilai kejujuran dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh karenanya, hal demikian merupakan satu gebrakan maha hebat dalam membentuk paradigma hidup yang konstruktif. Kantin Kejujuran menjadi muatan baru dalam kurikulum pendidikan walaupun tidak masuk dalam kegiatan proses belajar-mengajar dalam kelas. Bila materi kejujuran dan lain sejenisnya telah diajarkan dalam pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan saat proses pendidikan digelar dalam kelas, maka praktiknya digelar di Kantin Kejujuran.Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana sesungguhnya model Kantin Kejujuran yang dimaksud tersebut?

Secara tegas, dalam manajemen Kantin Kejujuran tersebut, para pelanggan atau yang membeli barang baik itu makanan, minuman dan lain seterusnya di Kantin tersebut, maka ia harus membayar sendiri. Dalam konteks seperti itu, Kantin Kejujuran tidak dijaga oleh penjualnya. Para pembeli memasukkan uangnya ke sebuah kotak yang sudah disediakan. Nilai nominalnya pun juga beragam, tergantung barang apa yang dibeli. Lebih menarik lagi, setiap barang yang dijual pun juga sudah diberi harga masing-masing, ditulis dalam draft kertas tertempel sehingga para pembeli tidak harus bingung mengenai harga setiap barang tersebut. Atas kondisi sedemikian, para pembeli harus menyerahkan uang rupiah dengan nominal yang pas, atau bisa saja minta uang kembali dengan mengambil sendiri dalam kotak yang tersedia dalam kotak tersebut.

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana bila Kantin Kejujuran juga dibangun di lingkungan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) se-Jatim? Walaupun para pegawai di setiap SKPD sudah banyak yang berusia sangat tua, apakah mereka tidak perlu dan wajib diberikan pendidikan kejujuran agar perilaku buruk yang sudah banyak menghinggapi mentalitas mereka, setidaknya, bisa dikurangi dengan sedemikian rupa? Yang jelas, dimanapun dan kapanpun, tidak memandang usia muda atau tua, pendidikan kejujuran tetap harus diberikan dan ini bukan berarti sangat meragukan setiap orang yang sudah berusia tua. Namun kenyataan di tengah masyarakat memberikan bukti tegas, para koruptor sudah banyak berusia tua. Ini merupakan sebuah keniscayaan tak terbantahkan.

Mencermati hal demikian, Kantin Kejujuran sudah seharusnya dibangun tidak hanya di sekolah an sich atau lembaga pendidikan, namun juga di setiap SKPD. Bila sangat diperlukan, berupaya membandingkan hasil kejujuran yang ada di lembaga pendidikan dan perkantoran pemerintah menjadi penting untuk dilakukan, apakah tingkat korupsi di sekolah lebih banyak ketimbang tingkat korupsi di dinas pemerintah atau sebaliknya. Tanggung jawab pemprov Jatim bekerjasama dengan sekolah dan elemen masyarakat yang memiliki concern sedemikian kemudian perlu digalakkan praksisnya.

Oleh karenanya, marilah menjadikan Kantin Kejujuran sebagai langkah awal guna memberantas benih-benih mental koruptif yang sangat mengancam kehidupan bersama. Pasalnya, Kantin Kejujuran sangat memberikan angin segar bagi tumbuhya sikap, pikiran dan tindakan kita semua agar selalu menjadi sosok-sosok yang mampu menjalani hidup dan tugas masing-masing secara bertanggung jawab. Setiap amanah yang diberikan kepada kita semua kemudian sangat dijaga dengan sedemikian hati-hati, tidak diselewengkan demi tujuan kerdil dan sempit yang merugikan kepentingan bersama.

Geger Keputusan MA Melarang Unas

Suara Karya, 2 Desember 2009

Oleh Moh. Yamin: Peneliti di Program Pascasarjana Universitas Islam Malang

Sejak diberlakukannya Ujian Nasional (Unas) oleh pemerintah, banyak elemen pendidikan melakukan protes terhadap kebijakan tersebut. Pasalnya, Unas bukan domain pemerintah pusat dalam melakukan evaluasi akhir kepada para siswa. Unas bukan wewenang pemerintah yang harus melakukannya. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003 secara tegas sudah menyatakan, evaluasi akhir bagi para siswa diserahkan sepenuhnya kepada sekolah dan guru sebab merekalah yang mengerti dan mengetahui perjalanan pendidikan para siswanya. Bila undang-undang telah dilanggar dan tidak dipatuhi, pemerintah sesungguhnya telah melakukan kesalahan yuridis formal dalam mengevaluasi pendidikan akhir para siswa. Prof. Dr. Arief Rahman Hakim (2009) jauh-jauh hari juga pernah menyampaikan, Unas sangat cacat hukum sebab tidak berdasarkan kepada amanat undang-undang. Unas sudah jauh dari koridor hukum yang sepatutnya jangan sampai dilangkahi.

Menabrak aturan hukum yang sudah dibuat sama halnya dengan tidak serius mematuhi peraturan dan perundang-undangan. Lebih mengejutkan lagi, kini Unas dipersoalkan kembali. Bertepatan dengan hari guru nasional 25 November 2009, Mahkamah Agung (MA) kemudian mengeluarkan keputusan dengan melarang pelaksanaan Unas. Evaluasi akhir siswa harus dikembalikan kepada sekolah. Ini dimulai dari sejumlah elemen pendidikan yang mengajukan perkara penolakan pelaksanaan Unas ke MA dan ternyata dikabulkan. Apakah secara otomatis ini akan meniadakan pelaksanaan Unas Maret 2010 nanti? Hal tersebut belum bisa terjawab secara cepat dan dini. Kontroversi keputusan MA tersebut masih menjadi bahan perdebatan banyak kalangan pendidikan, mulai dari pengamat, pemerhati pendidikan dan lain seterusnya. Geger keputusan MA melarang pelaksanaan Unas mendapatkan sorotan publik.

Tetapi terlepas dari itu semua, marilah kita semua kembali berpikir arif dan bijaksana mengenai perlu tidaknya Unas untuk terus diberlangsungkan. Yang jelas, persiapan pelaksanaan Unas sudah di depan mata. Pemerintah pusat, daerah dan sekolah sudah bersiap-siap menyambut pelaksanaan Unas tersebut. Anggaran Unas pun sudah dipersiapkan baik dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), maupun di sekolah sendiri.

Segala kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan Unas pun pasti dilakukan dengan sedemikian matang, cermat dan nyata. Menjadi tidak mungkin bila Unas harus dibubarkan. Siapapun kemudian akan pasti memiliki pandangan sama, pemerintah akan mengajukan peninjauan kembali (PK) atas terhadap keputusan MA tersebut sehingga Unas yang sudah dilarang belum tentu ditiadakan 2010 nanti. Ini masih membutuhkan kajian dan rumusan pemikiran yang lebih mendasar. Namun keadaannya akan menjadi berbeda bila keputusan MA tersebut secara taken for granted kemudian diikuti oleh pemerintah dengan mempertimbangkan banyak hal lain, seperti asas keadilan mengenai kemampuan setiap daerah pasti berbeda sehingga semua siswa yang akan mengikuti Unas pun pasti mempunyai tingkat kecerdasan yang juga berlainan. Ini sangat jelas merupakan sebuah pertimbangan yang kemungkinan besar bisa diterima secara akal sehat.

Apapun yang kemudian dipaksakan untuk diputuskan oleh pemerintah dalam menanggapi keputusan MA tersebut, sudah selayaknya bila Unas memang perlu dikaji kembali tentang keharusannya, apakah akan terus menerus dilangsungkan di tahun-tahun mendatang. Yang pasti, kebijaksanaan dalam mengambil kebijakan yang tepat dan cerdas harus diambil menjadi sebuah pilihan politik paling berani. Bila selama ini asumsi yang selalu dimunculkan pemerintah adalah Unas merupakan upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, kini cara pandangan sedemikian harus segera dihilangkan. Mutu pendidikan bukan lagi diletakkan kepada Unas, apakah para siswa akan sukses atau lulus ataukah tidak. Mutu pendidikan, yang pasti, memiliki perbedaan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Mutu pendidikan harus kembali didasarkan kepada potensi daerah yang dimiliki pada satu daerah tertentu.

Seorang siswa yang cerdas dan pintar dalam satu daerah tertentu belum tentu hebat dari pada siswa lainnya di daerah lainnya. Ukurannya pun sangat relatif, bergantung ukuran apakah yang dijadikan parameter. Begitu juga sebaliknya. Pasalnya, mereka memiliki kultur berbeda yang pasti berpengaruh dalam proses pendidikan yang dihasilkannya. Menganggap mereka semua pintar atau tidak pun juga merupakan sebuah kesalahan sangat mendasar. Unas dengan menggunakan pilihan ganda sesungguhnya merupakan jalan sangat menyesatkan sebab para siswa diminta untuk menjawab soal yang diberikan pemerintah, yang belum tentu sesuai dengan jawaban yang diketahui setiap siswa. Di sinilah letak persoalan muncul sehingga Unas bukan lagi membuka kreativitas siswa dalam melebarkan pandangan-pandangan guna menjawab setiap soal.

Mereka justru dibuat sempit, ibarat berkacamata kuda. Apabila tidak memilih di antara pilihan jawaban ganda yang tersedia, mereka dihakimi gagal dalam menjalani proses pendidikannya. Inikah yang dikehendaki pemerintah dalam memajukan dan meningkatkan mutu pendidikan nasional? Secara tegas, pendapat sedemikian merupakan sebuah upaya guna mendahulukan kebenaran yang dianggap paling benar menurut pemerintah pusat. Sedangkan apa yang dianggap benar menurut daerah merupakan sebuah kesalahan yang harus diperbaiki. Apakah ini yang dikehendaki pemerintah pusat dengan selalu melakukan pemasungan wewenang. Pemerintah bukan dewa atau tuhan yang selalu benar dalam segala hal. Ia dihuni oleh para manusia yang pasti tidak lepas dari salah walaupun sudah bergelar pendidikan tinggi. Apa yang dibuat pasti mengandung banyak kelemahan. Dengan demikian, mengembalikan sepenuhnya evaluasi akhir siswa kepada sekolah sudah seharusnya perlu dilakukan. Pemerintah sangat dituntut untuk mau terbuka terhadap persoalan tersebut. Kini, yang sangat ditagih adalah pemerintah pusat harus lebih bijaksana dalam mengambil kebijakan mengenai keputusan MA yang melarang pelaksanaan Unas tersebut. Marilah lebih serius mengurusi dunia pendidikan agar hasil yang diperolehnya tidak karut marut.