Month: Februari 2015

Republik Kita Tanpa Marwah

Banjarmasin Post_Rabu, 11 Februari 2015 01:03 WITA (http://banjarmasin.tribunnews.com/2015/02/11/republik-kita-tanpa-marwah)

(Surat Terbuka untuk Mr. Presiden)

Oleh MOH. YAMIN: Dosen di Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin

Apa yang kita bisa harapkan dari para pemimpin yang kehilangan kedaulatannya sendiri? Apa yang dapat diperbuat oleh “para aljogo” di republik ini yang memiliki mandat dalam mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara tatkala mereka sendiri telah menjadi “loyo dan diloyokan” oleh kepentingan sektoral?

Apa yang dapat mereka perbuat untuk rakyatnya ketika para penegak hukum juga tidak lagi berpihak kepada kedaulatan hukum sendiri? Bagaimana para penegak hukum akan mampu menjalankan tugasnya masing-masing ketika mereka sendiri kemudian terjebak kepada kepentingan masing-masing?

Ketika kondisi manusia-manusia yang diberi amanat tersebut telah dikalahkan oleh setan-setan politik yang berbau nyiyir dan menjijikkan, maka ke depan republik ini benar-benar sudah tak memiliki kedaulatan itu sendiri. Tentunya, kedaulatan tersebut berwajah banyak hal. Ini sungguh merupakan sebuah keadaan yang sangat ironis. Akhirnya, tuntutan untuk melakukan perubahan bagi bangsa yang progresif benar-benar dalam kondisi yang gelap gulita. Keharusan untuk kemudian dapat melepaskan bangsa dari ini para manusia barbar benar-benar sangat kesulitan. Harapan kolektif agar roda republik ini kemudian dapat berjalan baik dan bagus, itu pun masih sebatas lip service belaka.

Mimpi besar untuk melahirkan republik dengan mental bersih, kuat, dan berkarakter pun hanya menjadi tong kosong nyaring bunyinya. Jalan dan perjalanan republik ini sangat dipastikan sedang terseok-seok di antara visi yang agung dengan kinerja pemimpinnya yang sangat payah dan memilukan.

Walaupun memasang dengan mimpi yang indah dan seksi, namun para pemimpinnya kemudian lebih sibuk mengurus dan mengurusi sesuatu yang tidak substansial bagi kehidupan bersama di atas segala-galanya, maka tidak akan pernah ada sesuatu yang membanggakan serta dibanggakan. Pepatah bijak mengatakan, boleh saja bermimpin indah namun itu tidak akan pernah menjadi sebuah kenyataan tatkala tidak diiringi dengan kerja-kerja nyata untuk mencapai mimpi-mimpin indah tersebut.

Yang kemudian perlu dimunculkan pertanyaan adalah mengapa republik ini tetap “sakit” walaupun sudah berganti presiden? Kini presiden kita adalah Joko Widodo, Presiden ke-7 pilihan rakyat hasil dari reformasi 1998. Dengan kata lain, potret pemimpin kita saat ini kemudian menjadi sebuah realitas tak terbantahkan dimana presiden kita, yakni Joko Widodo memang sangat lemah atau lemah dalam mengelola dan menjalankan mandat rakyat.

Pertarungan dua lembaga penegak hukum, yakni Kepolisian Republik Indonesia versus Komisi Pemberantasan Korupsi (baca: konon Partai Berlambang Moncong Putih ikut mengipas-ngipas suasana yang panas semakin panas sebagaimana yang kerap disolorohkan oleh Sang Plt. Sekreratis Jenderal) yang hingga ini belum selesai dan justru kian meruncing sana-sana.

Hal itu semakin menegaskan sebuah tesis bahwa Presiden Joko Widodo sedang dihadapkan ke dalam satu langkah yang membingungkan rakyatnya (bukan membingungkan bagi Presiden Joko Widodo sendiri), apa yang dapat serta bisa diperbuatnya. Seolah, ketika karut marut pertengkaran dua lembaga penegak hukum kian mengganas, justru bola liar dan panas tersebut dilemparkan ke publik. Tak ayal, ini kemudian memunculkan sejumlah pernyataan keraguan, apa yang sebetulnya sudah dilakukan presiden kita, apa yang membuat presiden terlalu banyak pertimbangan atas suasana mengambang dan tidak menguntungkan nasib republik ini, dan begitu seterusnya.

Kondisi tersebut ibarat air mendidih di atas 180 derajat (kalau perlu 260 derajat). Kita semua bisa membayangkan ketika air mendidih tersebut berada di atas rata-rata normalitas (silahkan anda tafsirkan sendiri sesuai dengan kepentingan dan tujuan masing-masing). Ini kemudian memantik rasa kecewa dan amarah dari seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, apakah keadaan tersebut memang disengaja dimunculkan atau jangan-jangan memang tidak bisa diselesaikan. Hanyalah Presiden Joko Widodo yang bisa menjawab itu.

Selama marwah dalam memimpin masih ada dan bisa dimunculkan, Presiden akan mampu berdiri tegak untuk menuntaskan persoalan tersebut. Sebaliknya, ketika dia dikalahkan oleh “kepentingan asing”, maka di sinilah tamat marwah seorang presiden. Ini dapat dianalogikan dengan kewenangan presiden sedang dilucuti oleh mereka yang memiliki kekuatan lebih besar dan kuat di luar Istana, namun mampu mempengaruhi Istana.

Suara Jujur Rakyat
Rakyat yang telah memilih Joko Widodo dan ikut mengantarkan dirinya menduduki kursi Presiden Republik Indonesia di 9 Juli 2014 lalu dipastikan sangat sakit hati dan kecewa melihat dan mencermati sikap lemah presiden dalam membaca persoalan bangsa, terutama pertengkaran dua lembaga penegak hukum.

Rakyat berada dalam keadaan galau. Mengapa rakyat saat itu rela dan ikhlas memberikan suara politiknya kepada Joko Widodo karena menganggap dirinya akan mampu menerjamahkan suara akar rumput. Rakyat pemilih saat itu melihat sosok Joko Widodo yang populis, yang mampu mendengar suara rakyat, dan yang akan mampu memperjuangkan kehidupan bangsa.

Penampilannya yang sederhana memperlihatkan bahwa dirinya memang mampu bekerja dengan mengurangi banyak bicara (tidak seperti kebanyakan pemimpin yang suka ngomong alias cerewet namun miskin kerja). Penampilan dirinya yang memperlihatkan kesederhanaan mengilustrasikan bahwa dirinya bekerja atas dasar apa yang sedang dirasakan oleh rakyatnya.

Apabila rakyat kini dihadapkan kepada sebuah tontonan yang tidak menyamankan hati dan jiwa terkait “adu mulut” antara Kepolisian Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi yang kemudian dibumbui oleh suara-suara dari pihak luar, di sinilah kecepatan dan ketangkasan seorang presiden sedang diuji, bukan kemudian mengulur-ulur waktu. Rakyat kini sedang menagih kerja cepat dan tangkas sang Mr. Presiden Joko Widodo dalam mengambil sikap tegas dan berani.