Month: September 2015

Antara Ketakutan dan Rendahnya Komitmen

Banjarmasin Post, Selasa, 15 September 2015 00:55 http://banjarmasin.tribunnews.com/2015/09/15/antara-ketakutan-dan-rendahnya-komitmen?page=3

Oleh:Moh. Yamin

Dosen di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

Tajuk Harian Banjarmasin Post berjudul; “Dana Melimpah di Tengah Krisis” (11 September 2015), menarik untuk diulas dalam konteks pembangunan masa depan bangsa. Dalam tajuk tersebut disebutkan bahwa dana kita baik di Anggaran Pendapatan Belanja NAPBN) maupun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 2015 sangat melimpah ruah. Persoalannya adalah serapan anggaran untuk pembangunan hajat hidup orang banyak justru sangat kering kerontang.

Data menunjukkan, sebut saja di Kalimantan Selatan ada dana sekitar Rp 2,4 triliun yang belum dimanfaatkan. Dana yang mengendap di bank itu seharusnya sudah terserap habis, apalagi ini sudah masuk September atau bulan ke 9. Untuk menuju Desember 2015 ini, tinggal menghitung bulan, yakni tersisa tiga bulan lagi. Ironisnya, dari sekitar Rp 5,2 triliun dana yang masuk APBD, hingga akhir Agustus 2015, yang terserap untuk membiayai pembangunan baru sekitar Rp 2,8 triliun. Muncul dugaan sementara bahwa lambannya serapan anggaran adalah akibat sikap takut pemegang kebijakan di daerah dalam konteks eksekusi anggaran.

Pasalnya, sudah banyak pimpinan di daerah akibat salah mengambil kebijakan kemudian harus masuk penjara (baca: realitas). Inilah konon alasan klasik atau alibi yang digunakan sebagai basis berpikir dan bergeraknya. Pertanyaannya adalah benarkah landasan berpijak tersebut?

Apabila setiap pemimpin, termasuk para kepala daerah memiliki komitmen dalam konteks pelayanan publik, maka terlepas adanya sejumlah kepala daerah divonis bersalah dan melakukan korupsi uang rakyat, preseden buruk tersebut tidak tepat dijadikan cerminan yang menjadikan mereka untuk takut mengeksekusi anggaran publik untuk kepentingan publik.

Ketakutan dalam eksekusi anggaran publik untuk kepentingan publik tidak bisa dibenarkan. Dengan kata lain, tatkala seseorang sudah menjadi pemimpin atau kepala daerah, yang bersangkutan harus mampu menanggung setiap risiko, tanggung jawab dalam konteks bekerja untuk publik. Jangan hanya mau menjadi kepala daerah untuk semata mendapatkan fasilitas negara dengan segala aksesorinya, namun ketika ditagih untuk memiliki keberanian dan ketegasan dalam eksekusi anggaran publik, mereka tidak mau melakukannya dengan alasan takut untuk divonis bersalah dan masuk penjara.

Setiap tugas yang melekat kepada seseorang yang menjadi kepala daerah atau pemimpin, sudah harus dikuatkan dengan model kepemimpinan yang siap berjuang sepenuhnya untuk publik dan unsur kebaikan, serta keburukan yang berpotensi menimpanya tentu merupakan sebuah hal niscaya.

Bekerja selama berada dalam rel yang benar, dilandasi oleh kekuatan yuridis formal akan menjauhkan para kepala daerah untuk bisa bersih dan bebas dari tindakan korupsi. Setiap kepala daerah selama melakukan tugas dan kerja-kerja publiknya yang berkaitan dengan anggaran berbasiskan kepada transparansi anggaran publik, berasaskan pada peraturan yang berlaku tidak akan menjurumuskannya kepada hukum atau jeruji besi.

Apabila ada kepala daerah atau pemimpin berurusan dengan hukum, ini sesungguhnya merupakan cermin dari kepala daerah yang “nakal”, melakukan tindakan-tindakan yang menyalahi wewenang yang seharusnya diemban dengan sedemikian penuh tanggung jawab dan suci.

Kepala daerah yang tersangkut korupsi adalah seseorang yang menggunakan anggaran bukan sesuai kepada peruntukannya. Kepala daerah yang bekerja atas nama kepentingan pribadi dan golongannyalah adalah seseorang yang suka “bermain mata” dan begitu seterusnya. Oleh sebab itu, untuk apa harus takut dan waswas selama kebijakan eksekusi anggaran publik itu sudah benar dan dibenarkan berdasarkan peraturan dan perundangan yang berlaku.

Redefinisi Anggaran

Dalam kamus hukum dan glosarium otonomi daerah, disebutkan bahwa anggaran merupakan sebuah pengejewantahan visi dan misi kepala daerah dalam bentuk perencanaan yang sistematis, mengenai pendanaan suatu kegiatan dalam periode tertentu untuk waktu yang akan datang, dan sebagai kebijakan umum untuk mengalokasikan sumber daya dengan tujuan mencapai hasil akhir yang diinginkan (Freidrich Naumann Stiftung, 2003).

Anggaran dalam konteks ini berposisi untuk mampu melangsungkan kebijakan-kebijakan publik yang berorientasi kepada pembangunan publik. Angggaran yang ditatakelola dengan sedemikian rupa didedikasikan bagi kepentingan hajat hidup orang banyak, bukan untuk memperkaya diri sendiri dan golongan.

Di setiap mata anggaran, tentu sudah jelas indikator dan arah realisasi anggaran yang diperuntukkan untuk kepentingan publik baik itu dalam sektor infratsruktur maupun sejenisnya. Kepala daerah dalam konteks ini harus bekerja atas dasar kepentingan itu, bukan yang lain. Tidak akan ada kesalahan dan pelanggaran peruntukan apabila anggaran publik tersebut untuk publik, bukan sesuatu yang dipaksakan dengan membuat program-program fiktif dan lain seterusnya.

Oleh sebab itu, fungsi anggaran dapat dilihat dalam beberapa fungsi, di antaranya, pertama merupakan otorisasi yang dapat dimaknai sebagai dasar untuk merealisasikan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan, bertujuan melanjutkan kerja-kerja pembangunan yang sebelumnya belum terselesaikan dengan sedemikian sempurna dengan tetap menjadikan kepentingan publik sebagai leading sector.

Kedua merupakan sebuah fungsi perencanaan yang berarti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam perencanaan kegiatan pada tahun yang bersangkutan, menjadi pedoman agar program-program kerja yang sudah disiapkan dapat dijalankan secara optimal dan maksimal. Ketiga merupakan fungsi pengawasan bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

Kepala daerah dengan visi dan misinya saat pencalonan harus meneguhkan diri bahwa anggaran harus benar-benar berorientasi untuk publik. Serapan anggaran harus sesuai dengan peruntukan dan didasarkan pada kerangka peraturan dan perundangan yang berlaku. Tatkala ini semua dijalankan, tidak akan ada kepala daerah yang tersandung korupsi. Inilah yang disebut komitmen kepala daerah dalam konteks penyerapan publik yang sesungguhnya.

Apabila masih ada kepala daerah yang takut melakukan serapan anggaran, ini sebetulnya berada dalam konteks masih kuatnya kepentingan sektoral.

Pada prinsipnya, selama mereka berada dalam rel peraturan dan perundangan, tidak akan ada kepala daerah yang akan berurusan dengan hukum. Selanjutnya, mari kita tunggu dalam hitungan 3 bulan ke depan hingga pengujung Desember tahun ini, apakah serapan anggaran tetap kurus kerempeng atau bekerja cepat demi merealisasikan hajat hidup orang banyak. (*)

Optimis Berantas Buta Aksara

Koran Madura_Sep 14 2015 (http://www.koranmadura.com/2015/09/14/optimis-berantas-buta-aksara/)

Oleh: Moh. Yamin

Dosen di Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin

Tepat tanggal 8 September 2015 lalu diperingati sebagai Hari Aksara Internasional (HAI) ke-50. Tema Hari Aksara Internasional tahun ini adalah ”Literacy and Sustainable Societies”. Ketika berbicara tentang keaksaraan atau literasi dan masyarakat yang berkelanjutan, akan berjalin kelindan dengan kompetensi setiap manusia dalam membaca dan menulis.

Setiap manusia yang mampu membaca dan menulis akan mampu melakukan gerak langkah pembangunan yang berkelanjutan, begitu pun sebaliknya. Hal menarik selanjutnya adalah apakah kita selaku bangsa sudah bebas dari buta aksara untuk menjadi bangsa yang melakukan pembangunan secara berkelanjutan? Apakah masyarakat kita sudah bisa membaca dan menulis, menjadi manusia-manusia yang bergerak maju dengan kekuatan literasinya?

Data Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal (PNFI) Departemen Pendidikan Nasional sebagaimana dilansir Jum’at (12/06/2009) menyebutkan, jumlah penduduk yang buta aksara masih sekitar 9,7 juta atau 6% dari jumlah penduduk se-Indonesia. Lebihironislagi, Indonesia juga sedang berpotensi melahirkan penduduk buta aksara sekitar 600 ribu orang per tahun. Hal ini didasarkan pada masih adanya jumlah besar penduduk yang masih sama sekali tidak memperoleh akses layanan pendidikan dasar. Mereka meliputi para anak jalanan dan anak di daerah terpencil. Mengenai anak di daerah terpencil, mereka tersebar di daerah Provinsi Banten yang berada di 106 desa sebab belum memiliki sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah. Hal tersebut juga diperparah oleh angka DO (dropout) tiap tahun pada sekolah dasar yang diperkirakan berjumlah 483 ribu orang. Secara garis besar, DO lebih banyak terjadi pada anak kelas 1-3 sehingga potensi buta hurufnya sekitar 300 ribu. Direktur Pembinaan Pendidikan Masyarakat Ditjen Paudni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Wartanto juga mengatakan bahwa angka rata-rata nasional buta huruf mencapai 4,2 persen dari jumlah penduduk Indonesia (17/05/14).

Merujuk pada data tersebut, maka kondisi sedemikian merupakan satu pukulan sangat berat bagi sebagian besar masa depan pendidikan anak bangsa ke depan. Mereka dipastikan akan menjadi manusia-manusia yang tidak mampu mengukir masa depan dirinya, termasuk demi kepentingan lingkungan dimana mereka tinggal. Mereka justru akan berkalang dengan kehidupan yang gelap gulita. Mereka tidak mampu menjadi manusia-manusia yang berkualitas. Sehingga dengan demikian, anak-anak Indonesia harus siap kehilangan masa depan.

Harapan besar demi meraih kehidupan yang lebih baik dan paling baik tinggal retorika belaka. Mereka akan menjadi manusia gelandangan yang harus meringkuk dalam hidup yang serba susah. Imbasnya, mereka terkadang sangat rentan menjadi tumbal kepentingan segolongan tertentu yang mencari keuntungan di atas penderitaan mereka. Dijadikan budak atau kuli dan dipekerjakan dengan upah sangat rendah merupakan satu keniscayaan tak terbantahkan.

Akibat Ketidakadilan

Diakui maupun tidak, persoalan penduduk buta aksara bukan lahir tanpa sebab. Ada asap, pasti ada api. Dalam konteks ini, kejadian tersebut timbul karena akses memperoleh pendidikan bagi semua kalangan sangat terbatas. Anak-anak miskin sangat susah mendapatkan pendidikan karena orangtua mereka tidak memiliki biaya. Lebih parah lagi, sekolah sebagai pusat pendidikan terkadang mematok harga tinggi dalam pembiayaan pendidikannya sehingga anak-anak miskin tidak cukup dana untuk bersekolah (baca: realitas).

Hal sedemikian kemudian diikuti oleh keseriusan dan komitmen politik pemerintah dalam mengawal pendidikan yang mudah diakses oleh siapapun juga belum dijalankan secara maksimal dan optimal (bila tidak harus dikatakan sangat gagal). Korupsi dana pendidikan oleh oknum pejabat tertentu di tingkat pusat dan daerah merupakan salah satu indikator yang menghambat pemberantasan buta. Atas kondisi ini, maka cukup mustahil bila yang miskin kemudian memasuki dunia pendidikan.

Oleh karenanya, ketika realitas pendidikan sudah sedemikian terpuruk dan angka kemiskinan pendidikan sudah merajalela, banyak anak bangsa tidak mampu bersekolah, maka kini bangsa ini harus rela disebut sebagai bangsa yang sangat buta aksara. Prof. Dr. Winarno Suracmad menyebut bangsa sedemikian sebagai bangsa yang sedang mengidap busung pendidikan.

Kegagalan Negara

Ketika jumlah penduduk yang sedang busung pendidikan berjumlah besar, menjadi indikator kegagalan negara dalam melahirkan masyarakat yang melek pendidikan. Seharusnya negara sangat bertanggung jawab memberikan pelayanan pendidikan kepada semua rakyatnya dari Sabang sampai Merauke, namun hal tersebut belum maksimal.

Mereka diabaikan haknya untuk bisa menikmati perbaikan dan peningkatan kualitas hidup agar bisa lebih baik ke depannya. Padahal Konstitusi 1945 sudah tegas menyatakan bahwa negara sangat bertanggung jawab dalam melayani pendidikan semua warga negaranya dan wajib membiayainya. Dalam konteks yuridis formal, ketika negara tidak menjalankan hal tersebut, ini merupakan sebuah pelanggaran konstitusi.

Tugas Mulia

Para elit di tingkat pusat termasuk daerah memilik itugas berat dan mulia untuk segera melakukan terobosan-terobosan kebijakan yang seyogyanya mampu melakukan pemberantasan besar-besaran terhadap anak Indonesia yang masih buta aksara. Tugas besar Presiden Joko Widodo adalah segera turun tangan langsung dan memberikan instruksi tegas kepada para bawahannya agar kenyataan tentang kemiskinan pendidikan yang masih menghantam jutaan anak Indonesia segera disudahi.

Terlepas dari hal tersebut, amanah sedemikian kemudian harus dijalankan secara nyata dan praksis dalam bentuk kebijakan-kebijakan pendidikan yang pro kepentingan bangsa, seperti membuka akses pelayanan pendidikan murah. Sehingga Slogan kerja, kerja, dan kerja Joko Widodo harus dibuktikan dalam bentuk pelayanan pendidikan yang bisa diakses semua lapisan sosial, terutama kalangan menengah ke bawah. [*]