Dosen tanpa Marwah

Banjarmasin Post, Sabtu 15 April 2023 (baca pada halaman 4 di https://bit.ly/3mKDkrQ)

Oleh MOH. YAMIN: Dosen di Universitas Lambung Mangkurat

Menurut UU Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005 pada Pasal 1 ayat 1, dosen mendapatkan posisi sangat terhormat sebagai pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Ini berarti bahwa kehadiran tugas sejatinya memberikan kerja-kerja pencerahan dan diharapkan untuk terus semakin melakukan kemajuan peradaban dari sisi keilmuwan dan asas kemanfaatan bagi semua dan sesama.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada siapapun, tidak banyak manusia di Indonesia yang kemudian menjatuhkan dirinya sebagai dosen apabila secara syarat administratif tidak terpenuhi dengan sudah menyelesaikan studi S1, S2, dan ke depan diwajibkan S3. Karena begitu banyaknya tugas yang disandangkan kepada dosen, wajar saja jika kemudian masyarakat menaruh harapan besar kepada dosen dalam konteks pengembangan sumber daya manusia unggul. Dosen menjadi penggerak perubahan manusia unggul ketika dilihat(kan) dari keberhadirannya di perguruan tinggi. Namun menjadi persoalan ketika beban-beban administratif dosen semakin bertumpuk dari masa ke masa. Ini bukan berarti bahwa dosen kemudian disebut sebagai manusia super dan setengah dewa sehingga bisa melakukan hal apapun.

Membebani dosen secara administratif secara bertubi-tubi kemudian berpotensi menyandera idealisme, inovasi, dan kreativitas mereka sebab kemudian harus berada di pelbagai aras. Satu sisi, harus mengajar, meneliti, dan melakukan pengabdian kepada masyarakat. Di sisi lain, mereka dihadapkan kepada tugas-tugas tambahan yang tidak bisa ditolak ketika menjalankan tugas-tugas struktural. Di lain pihak, kerja administrasi menghitung sendiri kum kenaikan pangkat dan seterusnya menjadi drama ironis yang harus dijalani dosen. Kini muncul pertanyaan, apakah dosen akan mampu melakukan pengembangan keilmuannya serta memberikan kontribusi kepengajaran di ruang-ruang kelas bersama mahasiswa ketika begitu banyak beban kerja administratif yang dibebankan kepadanya? Secara aksiologis, dosen adalah penyebar pengetahuan yang notabene perlu mendapatkan akses yang lebih akomodatif, fleksibel dan luwes dalam kerja-kerja pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

Lonceng Kemunduran

Berita heboh teranyar adalah Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan dan RB) No. 46/2013 dimana salah satu bunyinya adalah dosen diminta untuk melakukan pengakuan angka kredit terhitung dari jabatan fungsional terakhir diterima hingga akhir tahun 2022 dengan waktu yang sangat terbatas hingga akhir April tahun ini menjadi sebuah analogi lonceng kemunduran bagi pengembangan dosen sebagai SDM unggul di perguruan tinggi. Secara sepintas, apa yang dinyatakan ini tampak menjadi hal biasa, namun pada kenyataan menimbulkan keresahan banyak dosen di republik ini baik perguruan tinggi negeri maupun perguruan tinggi swasta.

Pertama, pasalnya, aplikasi Sister tidak sanggup memfasilitasi arus sinkronisasi data dari Garuda, Sinta, dan lain-lain yang dipandang dapat menyuplai data ke Sister. Aplikasi yang disediakan LLDIKTI pun seperti Sijali dan mungkin nama lain (saya kurang menghafal satu per satu) tidak tersinkronisasi dengan PDDIKTI. Ini kemudian menjadi persoalan baru. Akhirnya yang harus dilakukan adalah kerja manual. Bisa dibayangkan jika dosen-dosen dalam 10 tahun terakhir belum mengajukan usulan kepangkatan dan jabatan fungsional karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, mereka selanjutnya diminta untuk melakukan input secara manual, maka bagaimana mereka akan mengalokasikan waktunya untuk mengajar, publikasi, dan lain-lain. Waktu yang terbatas karena tanggal 19 April adalah hari libur nasioal hingga 26 April sangat jelas sudah tidak memungkinkan mengurus syarat-syarat administratif yang diperlukan karena kantor tutup.  Terlepas kemudian ada surat edaran baru tertanggal 13 Mei 2023 yang menyatakan ada perpanjangan hingga 15 Mei ke depan, tampaknya ini menjadi bagian dari respon DIKTi setelah sejumlah guru besar dan dosen melakukan protes terhadap kebijakan tersebut. Kemudian muncul pertanyaan, apakah sudah sedemikian rapuhnya pengelolaan administrasi kebijakan sehingga terkesan mudah membuat kebijakan dan begtu mudahnya menarik kebijakan yang sudah dibuat dengan melakukan revisi.

Kedua, momen yang tidak tepat sebelum surat edaran terbaru terbit sebab terpotong dengan hari libur nasional yang panjang merupakan aspek lain yang menambah daftar buruk pengelolaan administrasi kebijakan publik tentang implimentasi Permenpan dan RB No. 46/2013. Kita semua meyakini bahwa tujuan dan niat baik pemerintah adalah baik, namun yang menjadi persoalan adalah apakah timingnya sudah diperhatikan secara penuh kematangan? Ketiga; jika data yang diperlukan kemudian secara pendokumentasian bagi beberapa perguruan tinggi yang kebetulan belum mapan secara administrasi diminta untuk mendukung bagi upaya penyediaan data-data pengakuan angka kredit dosen, ini pun menjadi mustahil terjadi.

Keempat, yang lebih ironis lagi adalah apabila tidak melakukan pengakuan angka kredit poin, maka (di)hangus(kan) dan tidak bisa dipakai untuk ajuan kepangkatan selanjutnya. Ini sanksi yang sangat kejam, terlepas kemudian tampaknya dalam surat edaran terbaru tidak muncul hal itu lagi, namun akan disesuaikan dengan skema karir dosen yang lebih baik sebagai upaya mengakui kesalahan secara tersirat.

Jalan Baru

Kita tidak bisa membiarkan situasi dosen yang semakin terbebani kerja-kerja administratif, kian berlarut-larut, selanjutnya mengganggu kerja-kerja pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Tugas dosen sudah berat sebagai penyebar ilmu pengetahuan dan dosen dituntut untuk semakin banyak membaca, melihat fenomena sosial untuk dapat dipecahkan dalam konteks memberikan solusi-solusi kemasyarakatan. Dosen sudah sewajarnya dikembalikan ke khittah awal sebagai pendidik, pengembang ilmu pengetahuan, dan penyebar ilmu pengetahuan untuk dapat menyinari republik ini, mendidik anak-anak bangsa demi generasi emas 2045. Mari secara bersama-sama bergandengan tangan mengatakan tidak kepada beban kerja administratif yang membunuh kreativitas dan inovasi. Untuk apa sekolah setinggi mungkin hingga ke negeri China sekalipun, walaupun pada akhirnya kembali ke kampus lebih banyak sibuk dan disibukkan dengan kerja administratif ketimbang kerja-kerja intelektual untuk mendidik sumber daya manusia unggul. Jangan sampai ada dosen yang kemudian tidak memiliki marwah akibat kehilangan ruang dan waktu untuk melakukan kajian-kajian intelektual, akademis selain pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Semoga…

Tinggalkan komentar