Month: April 2016

Membincangkan Perempuan

Harian Banjarmasin Post, 21 April 2016 (http://banjarmasin.tribunnews.com/2016/04/21/membincangkan-perempuan)

(Refleksi Hari Kartini 21 April 2016)

Oleh MOH. YAMIN: Dosen di Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin

Perdebatan tentang status perempuan yang selalu identik dengan “mahluk lemah” terus menerus menggelinding begitu kencang. Perempuan kemudian dianggap sebagai sosok yang tidak bisa melakukan apa-apa, kecuali bergantung kepada laki-laki. Pertanyaannya kemudian adalah benarkah pandangan publik tersebut? Terlepas apapun jawabannya, pandangan tersebut merupakan sebuah isapan jempol belaka. Memang jumlah perempuan yang kemudian mengukir sejarah perubahan dalam politik, ekonomi, seni, dan lain seterusnya tidak sebanyak yang dilakukan laki-laki, namun itu tetap membuktikan bahwa perempuan memiliki peran sejarah bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Di tingkat dunia, ada Sappho seorang penyair sekaligus perempuan Yunani. Menurut Plato, Sappho masuk dalam daftar 10 orang penyair terhebat yang pernah ada. Ada Cleopatra yang dikenal sebagai pemimpin wanita hebat sebab mampu mempertahankan kerajaan Mesir dari ancaman kekuasaan Romawi. Dia juga cerdik dalam berpolitik dan memiliki dua sekutu pemimpin besar dari Roma, sebut saja Marc Anthony dan Julius Caesar. Ada Ratu Elizabeth I seorang ratu Inggris yang di masanya mampu menyelamatkan kerajaan Inggris dari gejolak ekonomi dan sosial. Dia juga merupakan sosok pemimpin tangguh yang menyelamatkan Inggris dari serangan Spanyol. Selain itu juga ada Rabi’ah al-’Adawīyya, sosok seorang budak asal Irak yang kemudian karena perjuangannya mampu melepaskan diri dari stigma buruk tersebut. Rabi’ah dikenal sebagai sufi atau ahli mistik yang mempunyai segudang pemikiran mendalam mengenai Islam. Ada juga Lubna of Cordoba seorang wanita yang memiliki ilmu pengetahuan luas. Dia dikenal sebagai perempuan yang mahir dalam matematika, unggul dalam tata bahasa, pintar menulis, dan berpuisi.

Sementara di tingkat nasional, ada Naning Adiningsih yang menduduki posisi Chairwoman di Green Building Council of Indonesia. Ada Yenny Wahid, putri kedua dari almarhum Abdurrahman Wahid yang aktif dalam dunia politik dan terlibat dalam kampanye toleransi antar ummat beragama dengan menjadi nahkoda Wahid Institute. Tak hanya itu saja, ada Dewi Fortuna Anwar yang menjabat sebagai Chairwoman di Institute For Democracy and Human Rights, Habibie Center sekaligus sebagai penulis hebat. Apa yang kita bicarakan tentang perempuan-perempuan hebat Indonesia ini kemudian tidak menafikan sosok Kartini sebagai perintis pembebas perempuan di masanya dan perempuan-perempuan hebat di bidang-bidang lain. Oleh karenanya, ketika Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) di era kepemimpinan Soekarno sebagai sayap kekuataan politik terkuat Seokarno saat itu berada di kubu Partai Komunis Indonesia (PKI), Soeharto kemudian harus menghancurkannya. Akhirnya, Gerwani di antaranya dipreteli kekuatan politiknya, ini menunjukkan bahwa perempuan kemudian bisa hancur dan dihancurkan oleh kekuatan laki-laki.

Selain itu, apa yang terjadi terhadap Gerwani sesungguhnya dapat memberikan penjelasan secara nyata bahwa perempuan yang bergabung terhadap PKI disebut-sebut sebagai pengkhianat negara. Yang lebih mengerikan lagi, Gerwani kemudian mendapat tambahan stigma sebagai perempuan penghibur, pelacur, orang yang bejat dan keji, tidak bertuhan dan lain seterusnya. Bahkan disebut-sebut sebagian bagian dari kekuatan politik yang turut serta dalam melakukan terhadap para jenderal sebelum dibunuh di lubang buaya. Aksi pembentukan opini buruk sedemikian digelar melalui koran-koran militer serta koran pendukung lainnya yang dikendalikan Soeharto. Profesor Dr Saskia Eleonora Wieringa dalam bukunya “Penghancuran Gerakan Perempuan Di Indonesia” mengatakan bahwa perempuan yang tergabung dalam Gerwani sudah menjadi korban politik kekuasaan Soeharto karena dia berkeinginan kuat untuk naik singgasana kepresidenan (1999). Namun lepas dari itu semua, kiprah perempuan dengan pelbagai perannya memberikan sebuah ilustrasi bahwa sesungguhnya perempuan menjadi bagian tidak terpisahkan dalam menorehkan gagasan, konsep, dan tindakannya. Apakah mereka berada di balik layar atau di tengah publik sebagai pemikir, pembicara, peneliti, penulis atau pemimpin di sebuah perusahaan atau apapun namanya, perempuan menjadi pribadi yang telah membuktikan kepada dunia secara nyata serta terukur bahwa mereka mampu melakukan apapun dengan segala keterbatasan yang dimilikinya.

Stigma Miring

Stigma miring bahwa perempuan adalah “mahluk lemah” sesungguhnya muncul akibat perempuan itu sendiri tidak melakukan serangan balik dengan membuat opini tandingan. Kekuatan media yang masih didominasi kaum laki-laki menjadi bentuk konkret yang sangat telanjang mata di depan kita semua (baca: realitas). Bahasa media selama ini adalah bahasa kaum laki-laki. Kendatipun ada bahasa perempuan, warna bahasa kaum laki-laki lebih kuat menjadi warna. Bagi kaum perempuan, melakukan serangan balik terhadap tembakan bahasa kaum laki-laki bukan berarti melawan namun sebagai bentuk mempertahankan diri agar tetap memiliki harkat dan martabat adalah sesuatu hal yang penting. Semakin diam berarti harus siap untuk selalu menjadi kambing hitam dan dipolitisasi dengan sedemikian rupa. Kaum perempuan memerlukan perjuangan tanpa lelah untuk meyakinkan kaum laki-laki bahwa mereka bisa melakukan apa yang selama ini dikerjakan laki-laki. Ini bukan berarti menyalahi kodratnya sebagai mahluk yang memang dilahirkan sebagai perempuan secara given.

Gerakan Baru

Menarik apa yang disampaikan Fatimah Mernissi dalam bukunya “Women and Islam: An Hiistorical and Theological Enquiry” dimana dia menyebut kaum laki-laki selalu menjadikan ayat-ayat Tuhan sebagai alat untuk merendahkan kaum perempuan. Kaum laki-laki memandang perempuan dengan pendekatan ayat misoginis dimana memang ditujukan untuk melemahkan perempuan sehingga kaum perempuan selanjutnya tidak bisa melakukan hal apapun untuk membelanya. Akhirnya menjadi sesuatu yang niscaya apabila kaum perempuan selalu merasa berada di pihak yang salah kendatipun sesungguhnya benar. Apa yang salah menurut pihak perempuan belum tentu salah bagi laki-laki dan begitu sebaliknya. Paradigma kaum laki-laki selalu mencari menang sendiri dengan tidak pernah menyadari kesalahan yang diperbuatnya. Cara pandang sedemikian juga terjadi dalam dunia kemasyarakatan dan politik. Di masyarakat, perempuan sangat rentan menjadi permainan kaum laki-laki, sedangkan dalam dunia politik pun juga berpotensi sebagai kambing hitam (baca: realitas). Oleh karenanya, saatnya perempuan harus bicara dan menunjukkan kepada dunia bahwa mereka dilahirkan dan terlahir bukan sebagai kaum “yang lemah. Semangat perjuangan Raden adjeng Kartini yang lahir di Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1879 dan meninggal di Rembang, Jawa Tengah,tanggal 17 September 1904 pada umur 25 tahun tentu menjadi lokomotif perubahan bagi kebangkitan perempuan di Indonesia agar menjadi pribadi-pribadi yang tangguh. Tanpa kita sadari, keberadaan RA Kartini dalam konteks pembangunan kepribadian perempuan Indonesia membentuk cara pandang, cara bersikap, dan cara bertindak perempuan Indonesia. Kartini menjadi inpirasi bagi perempuan Indonesia untuk menjadi pribadi baik secara langsung maupun tidak langsung berkontribusi terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Selamat Hari Kartini dan selamat bagi para perempuan Indonesia yang menauladani RA Kartini dalam konteks ikut memperjuangkan kedaulatan bangsa di segala lini kehidupan mulai dari pembangunan pendidikan anak, peningkatan kualitas hidup berkeluarga, pembangunan politik kebangsaan yang bermartabat, penegakan hukum, dan lain seterusnya.