Darurat Sakit Demokrasi

Banjarmasin Post, Selasa_4 Nopember 2014 (http://banjarmasin.tribunnews.com/bpost/index.php?hal=10)

Oleh MOH. YAMIN: Dosen di Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin

Rakyat kini dipertontonkan dengan perseteruan yang sangat tidak layak ditauladani, yakni mereka yang konon menyebut dirinya sebagai wakil rakyat, yang dilantik hari Rabu tanggal 1 Oktober 2014. Cerita dan fakta politiknya berawal dari ketika fraksi-fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) berhasil merebut kursi ketua dan wakil ketua DPR RI. Selanjutnya, ini kemudian dilanjutkan dengan penyusunan alat kelengkapan dewan (AKD) dimana KMP kemudian menyapu bersih alias menguasai semua AKD dan fraksi-fraksi di Koalisi Indonesia Hebat (KIH) tidak mendapat jatah pimpinan komisi sama sekali. Buntut panjangnya adalah KIH yang merasa didzalimi kemudian membentuk ketua DPR dan AKD tandingan. Dengan kata lain, kekecewaaan politik KIH adalah membuat DPR tandingan. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah apakah mereka yang menyebut dirinya sebagai wakil rakyat kemudian sudah tidak mampu menggunakan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam rangka mencari win-win solution?

Tentu, realitas politik mengenai keterbelahan suara rakyat di DPR menjadi perhatian semua elemen masyarakat. Kenyataan politik tentang sikap politik para anggota dewan terhormat yang masih mengedepankan kepentingan golongan sangat jelas mengilustrasikan bahwa mereka masih sempit dalam berpikir dan bersikap serta bertindak. Apa yang mereka lakukan dan tunjukkan baik oleh fraksi-fraksi yang berada di KMP maupun yang berada di bawah bendera KIH sudah keluar dari rel awal untuk bekerja demi rakyat. Diakui maupun tidak, sudah lebih dari satu bulan mereka telah dilantik, namun mereka masih sibuk dan disibukkan dengan pertengkaran-pertengkaran yang tidak mencerahkan rakyat, yang membuat rakyat kecewa dan sakit hati. Kelakuan mereka sebagai wakil rakyat sebagai pejuang untuk publik sudah hilang dan ditenggelamkan oleh amarah serta nafsu sektoral yang tidak memiliki hubungan nyata dengan pembangunan hajat hidup orang banyak. Bagaimana mereka akan bisa berpikir jernih mengenai persoalan-persoalan bangsa serta rakyat, pikiran dan hati mereka sendiri sudah dibutakan oleh kepentingan-kepentingan yang merendahkan dirinya sebagai wakil rakyat yang seharusnya memiliki martabat di depan para konstituennya. Bagaimana mereka yang mendaulat dirinya sebagai manusia-manusia pilihan kemudian mampu mengabdikan diri untuk bangsa, sedangkan membersihkan diri mereka dari noda dan kotoran sektarianisme masih belum bisa dilakukan dengan sedemikian rupa. Manakah yang kemudian disebut suara-suara suci yang berasal dari hati nurani rakyat, yang seharusnya mereka perjuangkan di parlemen. Manakah yang dinamakan pesan-pesan rakyat untuk kemudian dibincangkan di Senayan, sedangkan mereka sudah hidup dengan dunianya sendiri yang penuh dengan kemunafikan, keserakahan, kerakusan, dan ketamakan terhadap kekuasaan.

Matinya Demokrasi

Pemimpin lahir dari kehidupan rakyat dan berjuang untuk rakyat. Mereka yang terpilih secara demokratis sebagai wakil rakyat tentu harus bisa berjuang untuk rakyat sebab pada dasarnya yang menjadi wakil rakyat juga berasal dari kehidupan rakyat itu sendiri. Tugas utama wakil rakyat selanjutnya adalah membawa suara-suara rakyat ke Senayan untuk kemudian diperbincangkan, dijadikan bahan masukan untuk selanjutnya diperjuangkan agar kemudian menjadi kebijakan. Dari kebijakan itulah, ini berbuah kebaikan serta kebajikan bagi rakyat. Persoalannya adalah demokrasi yang dipahami para wakil rakyat saat ini sudah sesat pikir. Demokrasi sudah mati dan dimatikan dalam kerangka pikir yang dimiliki dan dijalankan oleh para wakil rakyat terhormat. Justru yang mereka jalankan adalah the will to power (kehendak untuk berkuasa) dengan pelbagai jalan walaupun itu kemudian melukai nurani publik. Demokrasi kemudian hanya sebatas jargon belaka untuk mengelabui rakyat. Demokrasi berada di langit ke tujuh dan kemudian tidak bisa mendarat ke bumi. Demokrasi bagi para wakil rakyat cukup saja sebagai alat memuluskan kepentingan golongan dan pribadi saja.

Kini yang menjadi pertanyaan adalah sampai kapan para wakil rakyat baik yang berafiliasi pada kubu KMP maupun KIH akan terus mempertontonkan drama politiknya yang sangat membosankan, nyinyir, dan menjijikkan itu? Apakah kedewasaan berpolitik mereka sudah dikalahkan oleh kekanak-kanakan berpolitiknya yang kemudian disebut Taman Kanak-Kanak (TK) oleh Abdurahrahman Wahid atau Gus Dur? Tentu, hal sedemikian itu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut terlalu lama sebab ongkos politiknya sangat mahal. DPR sebagai patner kerja pemerintah tentu sangat jelas memberikan peran strategis bagi perjalanan republik ini. Bisa dibayangkan ketika pemerintah bekerja tanpa DPR, maka banyak program dan kebijakan publik yang menjadi macet untuk diimplimentasikan. Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) tersandera oleh permainan politik murahan yang sangat membodohkan dan merusak hajat hidup orang banyak.

Politik Turun Gunung

Sudah saatnya para petinggi partai politik atau ketua umum partai politik baik yang berada di kubu KMP maupun KIH untuk melakukan politik turun gunung. Mereka jangan menjadi penonton ketika para anak buahnya saling bertengkar hanya mengenai persoalan kursi dan kekuasaan. Drama politik di Senayan sudah sangat tidak sehat alias sakit dan menebar penyakit bagi kehidupan di republik ini. Kondisi ini sudah berada dalam kondisi darurat. Hannah Arendt selanjutnya pernah mengatakan bahwa berpolitik sesungguhnya berpijak pada aksi pelayanan hajat hidup orang banyak sebab dalam politik ada seni dan seni itu menyembulkan nilai-nilai keindahan yang berelasi kuat dengan pembangunan kesejahteraan hidup rakyat. Politik merupakan seni guna mengabdikan diri dengan sepenuh hati dan jiwa demi kepentingan kemanusiaan, pemuliaan manusia di atas kepentingan kerdil tertentu. Itulah yang kemudian harus digunakan para ketua parpol dalam mendamaikan para panglimanya di Senayan. Harapannya adalah presiden Jokowi jangan sampai ikut melakukan intervensi politik apapun, termasuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Rakyat justru meminta presiden mengundang dan menyerukan para ketua umum parpol untuk duduk bersama menyelesaikan persoalan politik ala TK tersebut secara jenih dan damai. Yang jelas, masih banyak tugas besar yang harus diselesaikan oleh para wakil rakyat. Lebih baik berhenti untuk ribut-ribut mengurusi kursi dan kekuasaan an sich.

Tinggalkan komentar