Revisi UU MD3 Perburuk Kinerja Parlemen

Sinar Harapan, 18-kamis, Juli 2014 (http://sinarharapan.co/news/read/140718127/revisi-uu-md3-perburuk-kinerja-parlemen-span-span-)

Oleh MOH. YAMIN: Dosen di Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin

Sebelum tanggal 9 Juli untuk pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres) lalu atau tepatnya tanggal 8 Juli satu hari sebelum pilpres, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan pengesahan revisi Undang Undang No. 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (RUU MD3). Tentu, itu bersamaan dengan kesibukan rakyat Indonesia yang sedang melakukan persiapan diri untuk memilih pemimpin baru Indonesia. Ada kesan yang muncul di tengah publik, ini kemudian memang menjadi strategi untuk mengecoh perhatian publik agar tidak mengamati apa yang sedang dikerjakan DPR untuk kepentingan tertentu. Publik kemudian hanya tertuju semata kepada pilpres. Ada sejumlah poin penting yang kemudian dirubah dalam Undang Undang tersebut, sebut saja ketentuan kuorum untuk hak menyatakan pendapat dari tiga perempat menjadi dua pertiga saja, anggota DPR tidak bisa dipanggil untuk diperiksa untuk penyidikan tindak pidana (termasuk kasus korupsi) tanpa sepengetahuan dan izin Mahkamah Kehormatan DPR, partai pemenang suara terbanyak tidak lagi menjadi ketua DPR, melainkan dipilih dengan suara terbanyak, dan ketentuan lain tentang keterwakilan perempuan dihapus, khususnya terkait dengan alat kelengkapan DPR (AKD).

Selanjutnya muncul dugaan sementara, perubahan-perubahan poin tersebut mengarah kepada kepentingan untuk menjadikan DPR sebagai kekuatan luar biasa secara politik dan tidak ada yang menandingi. Mari kita analisisis satu per satu. Pertama, ketentuan tentang kuorum untuk menyatakan hak pendapat dari tiga perempat menuju dua pertiga sudah sangat jelas memiliki tujuan untuk mempercepat proses dan pengesahan undang-undang atau kebijakan-kebijakan tertentu yang ingin dicapai oleh DPR. Ini sangat jelas sudah menjadi bentuk penghancuran demokrasi. Suara kemudian sangat mudah diperjualbelikan. Walaupun kuorum tidak mencapai 5 + 1 untuk diteruskan dalam sidang rapat tertentu, itu bisa dilanjutkan. Pada prinsipnya, hasilnya adalah dua pertiga sudah bisa diputus apakah dilanjutkan ataukah tidak. Ini merupakan sebuah ironi. Ketika demokrasi sudah mulai berkembang biak dengan cemerlang di republik ini pasca reformasi 1998, justru anggota DPR tidak menghendaki itu.

Kedua, ketentuan bahwa anggota DPR tidak bisa dipanggil untuk diperiksa untuk penyidikan tindak pidana, termasuk kasus korupsi tanpa sepengetahuan dan izin Mahkamah Kehormatan DPR juga merupakan persoalan lain yang harus membuat rakyat mengelus dada. Bisa dibayangkan, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ingin meminta anggota dewan tertentu untuk dimintai keterangan terkait kasus korupsi tertentu dan kemudian terhambat oleh ketentuan tersebut, maka ke depannya pemberantasan korupsi akan semakin sulit dilakukan dengan sedemikian berhasil. Dengan kata lain, dengan semakin banyak pintu untuk memeroleh izin pemanggilan anggota DPR, maka proses penegakan hukum akan semakin lama perjalanannya untuk mencapai tujuan. Akhirnya, yang terjadi adalah kegagalan pemberantasan korupsi. DPR dalam konteks ini sepertinya memang secara sengaja ingin melemahkan KPK dalam konteks pemberantasan korupsi. Ketentuan perubahan dalam UU MD3 tersebut semakin memberikan legitimasi, ternyata banyak anggota dewan yang tidak suka terhadap KPK. Kerja pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK membuat DPR harus membuat jurus baru dalam rangka melumpuhkan kekuatannya.

Ketiga, poin lain dimana partai pemenang suara terbanyak tidak lagi menjadi ketua DPR, melainkan dipilih dengan suara terbanyak juga menjadi skenario lain dalam rangka melahirkan ketua DPR yang sesuai dengan kepentingan tertentu. Tak hanya itu. Keempat, ketentuan lain tentang keterwakilan perempuan dihapus, khususnya terkait dengan alat kelengkapan DPR (AKD) juga menegaskan bahwa DPR di periode ke depan sudah tidak lagi memberikan ruang kepada perempuan untuk berkiprah dalam politik perjuangan untuk publik. Apalagi AKD tersebut berkaitan erat dengan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) yang bertugas melakukan penelaahan terhadap temuan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan yang disampaikan ke DPR; menyampaikan hasil penelaahan kepada komisi; menindaklanjuti hasil pembahasan komisi terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK atas permintaan komisi; dan memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemeriksa tahunan, hambatan pemeriksaan serta penyajian dan kualitas laporan.

Kini genderang kehancuran keberadaan DPR yang seharusnya mampu bekerja untuk kepentingan publik sudah semakin dipertanyakan. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) membeberkan bahwa rapor legislasi DPR sangat buruk. Pada 2010, dari 64 RUU yang masuk program legislasi nasional (prolegnas), DPR hanya bisa mengesahkan delapan menjadi UU. Pada 2011, dari 93 RUU yang ditargetkan, DPR hanya bisa menyelesaikan 18 di antaranya. Sementara di 2012, dari target 64 RUU, hanya berhasil dituntaskan 10 buah. Sedangkan pada 2013, target legislasi juga tidak banyak berbuah, dari target 75 RUU, realiasinya hanya 10 yang berhasil disahkan. Tentu, ketika berbicara tentang legislasi saja sudah kacau balau, maka kondisi ini juga tidak akan jauh berbeda dengan kinerjanya dalam ikut membangun bangsa yang bersih dari korupsi serta melahirkan pemerintahan yang bersih.

Menuju Parlemen Korup

Rakyat tentunya akan semakin memiliki pandangan bahwa walaupun pemerintahannya baru, namun kemudian tidak diikuti oleh parlemen yang baik dan konstruktif, maka sampai kapanpun bangsa ini akan tetap berada dalam keterpurukan. Pelbagai bencana bangsa terkait dirampoknya uang negara akan terus merajalela. Dengan kata lain, korupsi akan tetap masih berlangsung dengan sedemikian rupa. Konspirasi untuk mengamankan kepentingan masing-masing agar tidak mudah diketahui publik serta penegak hukum, sebut saja KPK akan terus menerus dilancarkan dengan sedemikian rupa. Kongkalingkong untuk menghancurkan kepentingan publik tentunya akan juga diberlakukan secara nyata dan jelas di hadapan rakyat Indonesia.

Di balik revisi UU MD3, ada dugaan sementara bahwa mengapa pengesahan revisi UU tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena ada kepentingan yang lebih besar untuk menghambat kerja pemerintahan baru apabila Joko Widodo-Jusuf Kalla terpilih sebagai presiden dan wakil presiden. Dengan kata lain, apabila Prabowo Subianto-Hatta Rajasa tidak terpilih sebagai presiden dan wakil presiden, maka yang dilakukan adalah dengan membentuk koalisi permanen di parlemen. Ini kemudian digunakan untuk menjegal segala bentuk program dan kebijakan yang akan dilakukan pemerintah. Parlemen sebagai patner kerja eksekutif tentunya juga ikut memiliki kewenangan untuk mengamini atau tidak mengamini atas inisiatif-inisiatif eksekutif. Di sinilah sebetulnya persoalan mendasar yang menjadi akar dari segala akar revisi UU MD3. Namun apapun yang terjadi dalam pemerintahan baru ke depan, semoga penyelenggara negara baik di eksekutif maupun legislatif tetap memiliki nurani untuk mau memikirkan rakyat. Itu sesungguhnya permintaan rakyat. Mereka boleh saja berdebat dan mendebatkan persoalan rakyat, namun dengan menggunakan kacamata kepentingan publik, bukan kepentingan kekuasaan tertentu yang bersifat hegemonik dan koruptif.

Tinggalkan komentar