Guru Honorer dalam Impitan Kemiskinan

Harian Banjarmasin Post, Sabtu_14 Oktober 2017

Oleh MOH. YAMIN: Dosen di Universitas Lambung Mangkurat (ULM) dan pernah menjadi guru honorer

Tajuk Harian Banjarmasin Post berjudul “Setop Menganaktirikan Guru Honorer” menarik untuk dibahas. Ada pembahasan menarik yang kemudian perlu dicermati bersama bahwa negara bertanggung jawab memberikan panduan terkait merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik atau siswa, melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada kegiatan pokok yang sesuai, serta meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan. Yang lebih menggelitik untuk dipahami oleh para petinggi di negara ini baik pusat maupun daerah adalah mereka menjalankan itu tanpa berkeluh kesah (10/10/2017).

Data menunjukkan bahwa ada ribuan guru honorer yang mengajar di sekolah menengah atas (SMA/SMK) dimana sudah enam bulan terakhir belum menerima tunjangan tambahan penghasilan yang biasa dialokasikan dari BOS daerah. Akibatnya tidak sedikit guru honorer yang terpaksa ‘ngebon’ alias meminjam kepada sekolah. Padahal biasanya, mereka menerima tunjangan guru honorer sebesar Rp. 1 juta itu setiap tiga sebulan sekali (Banjarmasin Post, 9/10/2017). Kini kemudian muncul pernyataan dan guyonan yang terkadang terlontar dari teman guru swasta yang mengatakan, “menjadi guru non-pegawai negeri sipil (non-PNS) harus siap miskin walaupun sudah bekerja sehari penuh di sekolah mendidik anak-anak didik sebab gaji yang didapat setiap bulannya sangat jauh dari layak”. Apakah benar sedemikian pernyataan tersebut? Bagi sebagian besar guru yang bernasib sama, mereka pasti merasakan itu. Mereka pasti berpendapat sama walaupun secara kasat mata, mereka tidak menampakkan itu baik dalam bentuk perilaku, sikap maupun tindakan.

Namun apakah negara memerhatikan kondisi guru yang belum beruntung tersebut sehingga dicarikan cara penyelesaiannya? Dalam konteks ini, negara diakui maupun tidak sedang memperjuangkan nasib guru agar tingkat kesejahteraannya menjadi naik, namun ironisnya yang diperjuangkan hanya para guru yang sudah berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Sementara mereka yang berlabel non-PNS tidak mendapatkan kepedulian politik sangat tinggi. Padahal di negeri ini, jumlah guru non-PNS sangat banyak. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, total jumlah guru 3.015.315. Jumlah itu terdiri dari 2.294.191 guru PNS dan guru tetap yayasan (GTY). Sisanya, sebanyak 721.124 merupakan merupakan guru tidak tetap atau honorer K2 (tirto.id, 5/10/2016).

Menurut laporan dari Education Efficiency Index, Indonesia merupakan salah satu negara yang paling kurang mengapresiasi kinerja guru. Dari sekitar 30 negara yang masuk ke dalam survey lembaga tersebut, gaji guru di Swiss tertinggi dengan nilai 68.000 dolar AS atau sekitar Rp. 950 juta per tahun. Gaji guru tertinggi berikutnya adalah Belanda, Jerman, dan Belgia. Di Perancis, gaji rata rata guru senilai 33.000 dolar AS per tahun. Sedangkan Yunani 25.000 dolar AS per tahun.

Indonesia sendiri berada di urutan paling buncit dengan gaji 2.830 dolar AS atau Rp. 39 juta per tahun. Gaji guru PNS berada dalam rentang Rp. 1.486.500 dan Rp. 5.620.300, bergantung pada golongan kepegawaiannya. Sedangkan gaji rata-rata guru honorer hanya sekitar antara Rp 200.000 – 500.000 tiap bulannya. Itu pun apabila lancar pencairannya setiap bulan. Oleh sebab itu, menjadi wajar apabila mereka kemudian harus mengajar di banyak sekolah lain agar bisa bertahan hidup. Setidaknya, bila di antara mereka kebanyakan sudah berkeluarga, memiliki anak dan istri, maka ini menjadikan mereka harus banting tulang mencari uang sebanyak mungkin. Apabila mereka sedang mempersiapkan diri untuk menikah dan persiapan masa depan lainnya, mereka harus mampu bekerja tanpa mengenal lelah agar bisa mengantongi pendapatan tinggi. Kondisi yang menimpa kehidupan mereka tentu sangat memilukan dan mengenaskan. Mereka berjuang untuk mendidik anak-anak didik agar bisa cerdas dan pintar, namun penghargaan secara ekonomi yang diberikan kepada mereka sangat rendah.

Tentu, menyalahkan sekolah terkait dimana mereka mengajar karena memberikan insentif sangat kecil bukan alamat yang tepat sebab kemampuan dana yang dimiliki sekolah tersebut juga sangat minim. Termasuk pula, menaikkan biaya pendidikan kepada anak-anak didik agar tingkat kesejahteraan para guru non-PNS bisa ditingkatkan, itu pun merupakan sebuah kesalahan sangat besar sebab para anak didik yang belajar juga berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah. Pendapatan orang tua mereka sangat kecil. Terkadang, pendapatan yang mereka dapat pun tidak cukup membiayai kebutuhan keluarganya sehingga ini pun menjadi sangat dilematis.

Terlepas dari itu semua, ketika keadaan ekonomi para guru non-PNS sangat morat marit, mereka hidup dengan tingkat ekonomi yang begitu sulit dan merana, maka menjadi guru non-PNS menjadi jalan buruk menuju kemiskinan. Jangan harap, kehidupan mereka akan bisa sejahtera. Setidaknya, membangun perekonomian keluarga yang sejahtera dalam tataran minimal akan sulit diwujudkan secara nyata. Justru, kehidupan yang mereka akan terima adalah semakin bergelimang dalam suasana ekonomi keluarga yang susah dan menyusahkan.

Oleh sebab itu, guru non-PNS pun ibarat lilin yang menerangi kehidupan sekitar. Lebih tepatnya, mereka di satu sisi berupaya dengan sedemikian maksimal dan optimal memperjuangkan pendidikan anak-anak didik demi mencerdaskan kehidupan bangsa, namun mereka di sisi lain sedang membangun kuburan kemiskinan, kemelaratan, dan penderitaan ekonomi. Sebab energi yang mereka keluarkan tidak sebanding dengan konsumsi vitamin yang dimasukkan ke dalam tubuh mereka.

Akhirnya dengan demikian, mereka pun bisa “sakit” sebelum berhasil menikmati perubahan ekonomi yang lebih baik ke depannya. Mereka memikirkan pendidikan anak-anak didik, namun tidak ada yang memikirkan tingkat perekonomian mereka. Ini ibarat bertepuk sebelah tangan. Pertanyaannya adalah apakah nasib guru selalu seperti itu? Mereka dimiskinkan karena kebijakan negara yang tidak pro guru honorer dan siap menerima realitas kemiskinan yang menjerat kehidupan mereka. Itulah persoalan yang hingga kini belum bisa dijawab oleh para elit di negeri ini baik pusat maupun daerah.

Tugas Negara

Melahirkan kebijakan peningkatan kesejahteraan para guru yang tidak diskriminatif menjadi tugas negara. Memberikan ruang kesejahteraan yang adil, rata dan sama kepada semua guru non-PNS baik yang mengajar di sekolah swasta maupun negeri harus benar-benar direalisasikan secara nyata. Menciptakan kehendak politik yang tegas agar bisa menyejahterakan para guru, tanpa pandang bulu harus dilakukan secara berani. Harapannya ke depan, para guru non-PNS kemudian bisa membangun kehidupan ekonomi keluarga yang benar-benar sejahtera. Tidak lagi ada nasib guru non-PNS yang hidup dalam himpitan kemiskinan. Tidak ada lagi berita tentang kondisi kesejahteraannya yang sangat memilukan dan mengenaskan, padahal mereka benar-benar bekerja dan mengabdi sepenuh hati serta jiwa agar bisa memberikan kontribusi paling baik demi kepentingan masa depan pendidikan anak didiknya.

Tinggalkan komentar