Day: Juni 12, 2013

Menekan Anarkisme di Pilkada

Koran Jakarta, Rabu/12 Juni 2013 (http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/121503)

Oleh Moh Yamin

Penulis adalah dosen dan peneliti di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

Setiap pasangan calon kepala daerah, saat mengadakan deklarasi damai, selalu menyatakan siap kalah dan menang. Mereka selanjutnya bergandengan tangan dan menegaskan siap menerima kekalahan dan kemenangan dengan lapang dada. Siapa pun yang terpilih dan dipilih rakyat, kemudian harus dihargai dengan sedemikian tinggi.

Dengan kata lain, walaupun tidak dipilih dan dalam kontestasi pemilihan umum kepala daerah (pilkada), kebersamaan dan semangat perjuangan dalam membangun daerah harus terus ditunjukkan. Jangan ada yang menunjukkan kekecewaan dalam bentuk-bentuk anarkisme serta destruktif, merusak ketertiban umum, serta menghancurkan fasilitas publik.

Persoalannya, ikrar yang sering dilontarkan para kandidat saat berkampanye dalam deklarasi damai tidak dihayati di lapangan. Nyatanya, calon yang tidak terpilih melakukan aksi kekerasan dengan menghancurkan fasilitas publik. Calon yang tidak terpilih karena merasa sudah menghabiskan uang banyak kemudian melampiaskan kemarahan dengan mengacaukan kehidupan rakyat.

Itulah yang sudah terjadi di Palembang, Sumatra Selatan (Sumsel), Selasa (4/6) pekan lalu. Kebakaran hebat di pusat pertokoan elektronik terbesar di Palembang diduga terkait pilkada wali kota Palembang April yang dimenangi dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Polisi menduga pelaku pembakaran adalah pendukung salah satu calon yang kalah. Mereka kecewa dan membakar toko milik pengusaha yang menjadi tim sukses calon yang menang. Indikasi itu menguat karena sebelum kebakaran ada massa yang menggelar demonstrasi menentang hasil pilkada Palembang.

Sebelum Palembang, di Palopo pada April 2013 juga terjadi amuk massa. Mereka membakar beberapa gedung di daerah tersebut. Penyebab rusuh massa juga pilkada. Pendukung salah satu calon tidak menerima keputusan hasil.

Ternyata, sesungguhnya, selama ini para calon memperlihatkan tidak siap menjadi peserta pilkada yang bijaksana dan arif. Setiap ada pilkada, di situlah potensi anarkisme muncul. Setali tiga uang, Menteri dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi, kemudian menyatakan bahwa sudah sering pilkada menimbulkan konflik.

Ongkos Mahal

Persoalan mendasar mengapa pilkada selalu melahirkan konflik adalah ongkos politik yang sangat mahal. Setiap calon pasangan yang akan merebut kursi wali kota, bupati, dan gubernur harus mengeluarkan biaya besar. Tentu, harapan semuanya menang. Padahal yang diperebutkan hanya satu orang nomor satu dan satu orang nomor dua di daerah.

Bisa dibayangkan, ketika ongkos politiknya sudah mahal dan tentunya para calon pasangan sudah habis-habisan mengeluarkan uang, baik dari kantong pribadi maupun sponsor, dampak psikologisnya adalah sakit hati tatkala dinyatakan kalah.

Segala cara ditempuh untuk melampiaskan kekecewaan. Cara terburuk dengan menghancurkan fasilitas publik, merisaukan kepentingan umum, dan menjadikan suasana di daerah labil. Bila menggugat hasil pilkada ke Mahkamah MK perlu diapresiasi.

Yang menyedihkan bila menggunakan parlemen jalanan, dengan bakar-membakar, rusak-merusak. Kondisi demikian tentu bukan menambah kehidupan yang nyaman. Masyarakat pun menjadi harap-harap cemas atas keselamatan dirinya.

Pilkada secara esensi berupaya mewujudkan suara rakyat. Tentunya, siapa pun yang terpilih sebagai kepala daerah, harus mengemban amanah rakyat dengan penuh tanggung jawab. Apabila ada pasangan calon yang tidak menang, harus diartikan rakyat sesungguhnya tidak memberi kepercayaan kepadanya.

Hanya, sering kali, para calon pasangan tidak mampu memahami esensi tersebut. Demokrasi yang bermakna “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” seharusnya ditafsirkan lebih mendalam bahwa menjadi pemimpin bukan semata-mata berbicara tentang ongkos politik yang dikuarkan.

Akuntabilitas, kredibilitas, dan kapabilitas kemudian menjadi pertaruhan politik sangat tinggi sehingga kendatipun sudah mengeluarkan biaya politik sangat tinggi, tidak otomais terpilih. Calon incumbent pun belum tentu dipilih kembali.

Maka, kenyataan tentang masih adanya pasangan calon kepala daerah yang melakukan aksi kekerasan (walaupun tidak dilakukan sendiri meminjam tangan-tangan) jelas menunjukkan bahwa praktik demokrasinya masih minim.

Mereka tidak mampu memahami esensi demokrasi sendiri. Padahal kalau berbicara tentang demokrasi, ada semangat untuk menghargai serta menjunjung tinggi kepentingan rakyat seutuhnya. Di sana juga ada nilai-nilai suci yang memang tidak bisa diukur dengan uang.

Di sana ada cita-cita yang menghendaki pasangan calon harus mampu serta benar-benar menunjukkan komitmennya dalam bekerja, bukan melupakan rakyatnya setelah terpilih. Tapi ada yang salah mengerti. Setelah menang, mereka fokus mengembalikan uang yang dikeluarkan. Ini kadang dilakukan dengan berbagai cara, termasuk korupsi.

Maka, tak heran bila banyak kepala daerah yang tersandung korupsi. Hal tersebut sesungguhnya juga menunjukkan ada yang salah dalam konsep demokrasi yang dijalankan para kepala daerah yang kini tersandung korupsi tersebut. Kemendagri mencatat bahwa sejak 2004 hingga Februari 2013 para kepala daerah yang terlibat kasus korupsi mencapai 70 persen atau 291.

Perinciannya adalah 21 gubernur, 7 wakil gubernur, 156 bupati, 46 wakil bupati, 41 wali kota, dan 20 wakil wali kota. Penyebab tindak pidana korupsi tersebut diduga karena biaya kampanye yang sangat tinggi. Tatkala pasangan calon kepala daerah menang pilkada, mereka kemudian harus mencari sumber pendapatan untuk mengembalikan modal atau bahkan mencari sumber lebih guna menumpuk hati.

Memang, dugaan ini masuk akal tatkala membaca secara kritis biaya kampanye pilkada, baik di tingkat kabupaten maupun kota, yang menelan biaya puluhan miliar dan di tingkat gubernur bisa yang mencapai ratusan miliar. Oleh sebab itu, amuk massa dan korupsi memang belum bisa menjauh dari pilkada. Akibatnya, sejumlah pihak pun menamakan proses demokrasi senantiasa melahirkan anarkisme dan korupsi.

Tentu, tantangan ke depan yang harus dibenahi secara bersama, terutama para pengambil kebijakan di Jakarta perlu pengetatan biaya pilkada yang harus dikeluarkan calon agar mengurangi konflik pascapilkada. Namun tetap juga pemilihan kepala daerah jangan dikembalikan ke tangan DPRD.

Kepala daerah tetap dipilih rakyat. Hanya mekanisme pembiayaan politik dan sejenisnya harus didesain secara lebih baik dalam rangka melahirkan penyelenggaraan pilkada yang damai dan dapat dipertanggungjawabkan.